Dewatanisasi Insani

Dewatanisasi Insani | Berkaitan dengan sebuah gagasan dimana pendidikan Agama Hindu juga disebutkan dapat digunakan secara ideal untuk dapat diarahkan dalam pembentukkan manusia yang berkarakter ideal sebagai Divine Human ("manusia berketuhanan atau bersifat kedewataan"; Daiwi Sampad), yakni:
  • Pertama, mampu mengendalikan dominasi dan hegemoni tubuh, pancaindra dan hasrat atas manah (pikiran) dan budhi (kecerdasan). Atau sebaliknya, menjadikan manah dan budhi sebagai kekuatan dominatif dan hegemonik atas tubuh, pencaindra, dan hasrat (atau kama). 
  • Kedua, berkaitan dengan Tri Guna dimana sattwa guna untuk dapat mengendalikan tamas guna. 
  • Ketiga, kembali menjadi pengikut setia partai Pandawa (Pandawaisme, Yudistiraisme) dan mengabaikan partai Korawa (Korawaisme, Duyadanaisme). 
  • Keempat, karakter kedewataan untuk dapat mengendalikan karakter keraksasaan (Asuri Sampad) atau (divine human mengendalikan demonic human). 
    • Walaupun berpihak pada daya manah dan budhi, sattwa guna, Pandawaisme atau divine human, namun tidak berarti, bahwa daya tubuh, panca-indra, hasrat, tamas guna, Kowaisme atau demonic human, karena secara substansial tidak bisa dilenyapkan, bahkan harus ada dalam konteks kehidupan manusia.
Juga dapat diketahui bahwa banyak tata kelakuan atau resep bertindak yang terkandung dalam filsafat-filsafat maupun kitab-kitab weda yang semestinya dapat ditanamkan guna mewujudkan divine human ini. Misalnya;
  1. Bhakti kepada Tuhan; 
  2. Ahimsa (nirkekerasan); 
  3. Cinta kasih (Tuhan adalah cinta kasih dan cinta kasih adalah Tuhan; 
  4. Tidak sombong; (atau Mardhawa, prilaku yang rendah hati)
  5. Sabar; (bersifat Akrodha untuk dapat mengekang kemarahan dalam menjalankan kebenaran dan hidup yang bijaksana.)
  6. Dermawan atau murah hati; 
    • Suka berderma.
    • dan melakukan punia.
  7. Tidak egois; (Pengendalian Ahangkara; "cinta yang keluar dari lubuk hati yang suci")
  8. Memiliki rasa syukur; (Dengan persembahan sesajen sebagai wujud dari rasa bhakti yang setulus-tulusnya.)
  9. Memiliki rasa terimakasih; (seperti pada catur guru atas ajaran-ajaran dan nasehat-nasehatnya).
  10. Mampu mengendalikan pikiran, kemarahan, keinginan (indria) dan diri sendiri; 
  11. Menganggap setiap manusia sama derajatnya; (sebagaimana tertuang dalam Tat Twam Asi)
  12. Membuang kebencian dan kekejian; (segala bentuk perbuatan Asubha Karma)
  13. Hidup sederhana secara berkemaknaan; dimana 
    • Sri (Shri) artinya kemakmuran atau amretha yang disimbulkan dengan Dewi Sri sebagai dewi kemakmuran.
    • Terwujudnya Jagadhita di dunia ini yaitu kesejahteraan, kemakmuran dan kebahagiaan setiap orang, masyarakat, maupun negara sebagai tujuan hidup agar tercapainya moksartham jagadhita ya ca iti dharma di dunia ini dan di akhirat nantinya.
  14. Melakukan kebaikan termasuk di dalamnya rela berkorban untuk kesejahteraan orang lain;
  15. Memberikan pengampunan; 
  16. Percaya pada diri sendiri, dll.
Pendek kata, Hindu Dharma dikatakan menyediakan tata susila / kelakuan atau resep bertindak yang amat kaya guna mewujudkan divine human melalui dewatanisasi insani. 

Secara umum hal ini bisa disebut resep divine human atau resep daiwi sampat. Orang Hindu tidak saja sebagai orang yang memiliki Agama Hindu, tetapi juga sebagai warga negara dan masyarakat. Negara dan masyarakat memiliki tata aturan, yakni dharma negara. 

Sedangkan Agama Hindu dalam konsep lain juga disebut dharma negara. 
Orang Hindu sebagai warga masyarakat dan negara merupakan pula warga masyarakat dunia. Apalagi pada era globalisasi secara disadari maupun tidak, manusia berada pada lingkungan kampung global.
Kondisi ini menimbulkan implikasi, bahwa pendidikan sebagai dewatanisasi dalam konteks mewujudkan divine human, tidak cukup hanya menginternalisasikan ajaran Agama Hindu (dharma agama), melainkan wajib pula menginternalisasikan tata aturan masyarakat dan negara atau dharma negara dalam skala nasional dan global agar interaksi sosial antarwarga dalam lingkup negara dan atau antarnegara berjalan secara berkedamaian. 
Namun apa pun bentuk resep divine human, maka penanamannya dilakukan pada pikiran manusia. Gagasan ini berkaitan dengan filsafat Vedanta dan Katha Upanisad tentang hakikat manusia yang terdiri dari tubuh dan roh (atman).
Tubuh dapat diibaratkan dengan kereta. Rokh adalah penumpang kereta. Kecerdasan adalah kusirnya. Pikiran adalah tali kendali, dan panca indria adalah kuda-kudanya (lima ekor kuda penanda lima alat indria) dimana jiwa juga sebagai penikmat atau penderita, tergantung pada pikiran dan indria-indrianya. 
Gagasan ini memberikan petunjuk, bahwa dewatanisasi insani pada dasarnya adalah menanamkan resep-resep divine human di dalam pikiran manusia.
Aneka resep divine human ini tidak sekedar disimpan dalam pikiran – berfungsi sebagai peta kognisi, tetapi sekaligus juga mengendalikan pikiran (aspek evaluatif).
Ketika anda sudah berhasil mengendalikan pikiran, maka anda akan memiliki kendali atas tubuh anda.
Tubuh ibaratnya hanyalah bayangan dari pikiran.
Ia hanyalah konstruksi yang dibuat oleh pikiran untuk mengekspresikan dirinya.
Tubuh akan menjadi budak anda ketika anda sudah berhasil menaklukkan pikiran.
Sebagaimana terlihat pada perumpamaan di atas, yakni 
  • Pikiran ibaratnya sebagai tali kendali kuda (pancaindria) yang menarik kereta (tubuh), dan kusir (kecerdasan) adalah pemegang tali kendali.
  • Maka implikasinya, sejauh mana pikiran mampu mengendalikan tubuh dan pancaindria, bergantung pula pada kusir (kecerdasan). 
Berkenaan dengan itu maka pendidikan sebagai dewatanisasi insani tidak cukup hanya menanamkan resep-resep divine human dalam pikiran; 
Melainkan juga disebutkan membutuhkan pula peningkatkan kecerdasan. 
Dalam konteks inilah teori-teori kecer- dasan, yang mencakup kecerdasan emosional, intelektual, spiritual, dan sosial.
***