Kisah Aswatama

Aswatama adalah seorang anak pemberani namun memiliki sifat pendendam sebagai salah satu tokoh dari kisah Mahabharata

Diceritakan pada zaman dahulu, Aswatama adalah putra dari seorang brahmana yang bernama Bhagawan Drona, yang menjadi gurunya pangeran Kuru (Pandawa dan Korawa). Aswatama beribukan Dewi krepi, yang menurut legendanya adalah jelmaan Bidadari Wilotama.
Diberi nama Aswatama karena bentuk telapak kaki nya mirip telapak kaki kuda (tidak punya jari-jari kaki), dan berambut seperti rambut kuda. hal ini dikarenakan, ketika awal mengandung dirinya, Konon Dewi Krepi/Wilotama sedang beralih rupa menjadi Kuda Sembrani dalam upaya menolong Bambang Kumbayana ( nama Resi Drona sewaktu muda), menyeberangi lautan.

Dalam dunia wayang Aswatama dikenali dengan ciri-ciri : 
  • Bermata kedondongan putih, 
  • Berhidung mancung serba lengkap, 
  • Berketu udeng dengan garuda membelakang, 
  • Bersunting kembang kluwih panjang, 
  • Berkalung putran berbentuk bulan sabit, bergelang, berpontoh, dan berkeroncong. 
  • Berkain, tetapi tidak bercelana panjang dan bentuk telapak kakinya seperti telapak kaki kuda (tidak punya jari-jari kaki) dan bersurai
Aswatama memiliki sifat pemberani, cerdik dan pandai mempergunakan segala macam senjata. Aswatama belajar ilmu perang bersama para pangeran Kuru di bawah bimbingan ayahnya sendiri yaitu Resi Drona. 
Ia memiliki keterampilan dalam ilmu perang, terutama mempergunakan sejata panah dan kemampuannya hampir sama dengan Arjuna. Ia mendapat pusaka yang sangat sakti dari ayahnya bernama Cundamanik.

Ia juga merupakan salah satu dari tujuh Ciranjiwin, yaitu manusia berumur panjang atau mahluk yang hampir abadi. Saat perang Bharatayudha berakhir, hanya ia bersama Kertawarma dan Krepa yang bertahan hidup. 
Oleh karena dipenuhi dendam atas kematian ayahnya, ia menyerbu kemah Pandawa saat tengah malam dan melakukan pembantaian membabi buta dan penyerbuan itu dilakukan setelah perang diumumkan berakhir.

Pada perang Bharatayuddha, Pandito Dronacarya, ayah Aswatama gugur karena siasat para Pandawa. Mereka sengaja membunuh gajah yang bernama Hestitama, agar Begawan Drona menjadi kehilangan semangat hidup (Resi Drona mengira yang tewas adalah Aswatama puteranya). 
Untuk membalas dendam atas kematian ayahnya, Setelah perang Bharatayudha berakhir, Aswatama menyelundup ke dalam istana Hastinapura. Ia berhasil membunuh Drestadyumna (Pembunuh ayahnya), Pancalawa (anak-anak Drupadi), dan Srikandi.

Setelah membunuh kelima anak Drupadi dan ksatriya lainnya, Aswatama berlindung kepertapaan Maharsi Byasa/Wiyasa (di jawa disebut Abiyoso). Pandawa memburu dan terjadilah pertarungan antara Arjuna dan Aswatama. 
Dalam pertarungan itu, Aswatama memanggil senjata “Brahmasta” begitu juga dengan Arjuna, takut akan kehancuran dunia, Maharsi Wiyasa (Bhagawan Abiyasa) meminta keduanya agar segera menarik senjatanya kembali.

Arjuna berhasil melakukannya, tetapi Aswatama kurang pandai menguasai senjata itu sehingga tidak bisa menariknya. Ia kemudian diberi pilihan agar senjata itu menyerang target lain untuk dihancurkan. Masih dengan penuh rasa dendamnya, Aswatama mengarahkan senjata itu ke rahim Utari, menantu Arjuna, istri Abimanyu.

Senjata itu membakar janin dalam kandungan Utari, Namun Kresna berhasil menghidupkan kembali janin yang dikandung Utari. Oleh Sri Krisna dikatakan bahwa Aswatama akan kena karma akibat perbuatannya. 
Aswatama tersadar dari perbuatan khilafnya, Aswatama menyerahkan batu permata berharga (Manik) yang terletak di dahinya kepada Sri Krisna, yaitu permata yang membuatnya tidak takut terhadap segala senjata, penyakit, atau rasa lapar, dan membuatnya tak takut terhadap para Dewa, Danawa, dan Naga. 

Aswatama mohon supaya tidak dikutuk oleh Sri Krisna, tetapi Sri Krisna mengatakan bahwa itu bukan kutukan melainkan buah karma atas apa yang telah dilakukan selama hidupnya. Atas perlindungan dan jaminan Bhagawan Abiyoso, Aswatama diampuni. Aswatama kemudian melakukan penebusan dosa mengembara kearah barat ditanah padang nan tandus di gurun pasir disemenanjung Arvasthan dan hidup selama 1000 tahun sebagai pertapa yang mengembara.

Aswatama bukan brahmana lagi, meskipun beliau keturunan Brahmana atau berasal dari Brahmana. Aswatama anak Brahmana Bhagawan Dronacarya, selama hidupnya sampai perang Bharatayudha berakhir memilih hidup sebagai Ksatriya membela pihak Kurawa dalam perang di Kuruksetra tahun 3138 SM. 

Setelah tersadar dari kekhilafan, atas jaminan dan bimbingan Maharesi Wiyasa, kemudian melakukan penebusan dosa, pergi dari Hastina pura menuju kerah barat. Ditempatnya yang baru Aswatama menjalani hidup sebagai seorang pertapa mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Maha pengasih lagi maha Pengampun.

Aswatama mengasingkan diri di suatu tempat yang masih asing. Penduduk setempat menyebut Aswatama sebagai orang KAURA/KURU/KORA. 
Kata WA dalam bahasa sansekerta berarti keturunan, seperti Pandawa, artinya keturunan Pandu dan Kaurawa berari keturunan Kuru/Kaura. 

Bahasa yang dipakai oleh Aswatama bahasa-nya orang Kuru/Kaura/Kora/KAURAN, yang oleh penduduk setempat disebut bahasa dari seberang atau bahasa asing ( HEBREW). Aswatama bagi orang setempat disebut orang Asing (=muhajirin).

Di tempat pengasingannya Aswatama kembali menjalani hidup sebagai seorang Brahmana dan mendirikan Kuil pemujaan didaerah yang sangat kering, tandus dan panas, 

Demikian dikisahkan Dharma Sastra Hindu (ref) dimana disebutkan bahwa daerah itu ibaratnya seperti Padang Pagangsaran di lintasan Sorga dan Neraka di kadewatan sana. Di tempatnya yang baru Aswatama mengasingkan diri melakukan penebusan dosa, dia bisa hidup tenteram beranak pianak di sana. Meskipun diawal-awal pengasingan dirinya berbagai macam cobaan dihadapi-nya dengan tabah.
***