Pendewasaan Diri

Pendewasaan berasal dari kata dewasa, artinya kita bukan kanak-kanak lagi. 
Dalam istilah bahasa Sanskerta ditulis “dewasya”, dari akar kata “dewa-“, dan “-sya”, yang bermakna memiliki sifat seperti dewa.

Dalam beberapa makna yang tersirat dalam pelaksanaan upacara yadnya disebutkan :
Saat ini banyak diantara manusia yang telah menginjak dewasa, namun masih terbelenggu jiwa serta pikirannya seakan-akan mereka masih kanak-kanak seperti makna yang terkandung dalam upacara menek deha sehingga diperlukan proses pendewasaan diri.
Dimana proses pendewasaan diri tersebut akan mengajarkan kita untuk senantiasa 'menyelam', menelisik kembali ke dalam, sehingga pada waktunya nanti akan dapat tumbuh keterjagaan-diri yang kuat, 'kebebasan' pun akhirnya didapat.

Dalam pendidikan dapat dimaknai sebagai proses pendewasaan (dewasya) diri manusia seperti halnya disebutkan dalam pengembangan pola pendidikan anak usia dini dalam perspektif Agama Hindu;

Hal ini sejalan dengan tujuan pendidikan yaitu sebagai pendewasaan, pencerdasan, dan pematangan diri. Dewasa dalam perkembangan badan, cerdas dalam hal perkembangan jiwa, dan matang dalam hal berperilaku”. 

Kata “dewasa” dalam istilah bahasa Sanskerta ditulis “dewasya”, dari akar kata “dewa-“, dan “-sya”, yang bermakna memiliki sifat seperti dewa

Titib (2003) menjelaskan makna kata dewasya (dewasa) dihubungkan dengan makna pendidikan mengandung arti : 

Mengantarkan seorang anak menuju ke tingkat dewasa atau kedewasaan .... maka kata dewasa ini dapat dikaji maknanya dengan kata dewa, atau devata, dimaksudkan seorang itu dalam perilakunya sudah memiliki sifat-sifat kedewataan (Daiwisampat), karena kata dewasa (dewasya) berasal dari kosa kata bahasa Sansekerta, yang artinya memiliki sifat dewa, juga berarti yang bercahaya, tentu diharapkan perilaku anak mengikuti ajaran ketuhanan atau memancarkan nilai-nilai ketuhanan, tidak sebaliknya dikuasai oleh sifatsifat keraksasaan (Asurisampat) (Titib, 2003: 4). 

Jadi dengan demikian, dilihat dari makna kata dewasa, maka tujuan pendidikan bukanlah menjadikan peserta didik agar dewasa dalam arti perkembangan badaniah tetapi lebih mengarah kepada menjadikan insan berkarakter kedewataan (daiwisampat) atau divine human (manusia dewa) yang sekaligus berarti mencegah kehadiran manusia berkarakter keraksasaan (asurisampat) atau demonic human.

Sebagai proses pendewasaan diri manusia, sehingga melahirkan manusia yang memiliki karakter kedewataan (daivasampat), digam-barkan sebagai “suputra” yakni anak yang berbudi pekerti luhur, cerdas, bijak-sana, dan membanggakan keluarga. 
Oleh karena itu pendidikan agama Hindu juga hendaknya dapat diarahkan kepada dua hal yakni keseimbangan lahir dan batin, dan untuk itu ilmu pengetahuan yang diberikan atau harus dikuasai adalah pengetahuan parawidya (pengetahuan kerohanian), dan aparawidya (pengetahuan keduniawian). 
Bertautan dengan hal itu, hal utama yang harus diajarkan (ditanamkan) kepada anak sejak dini adalah etika dan moral, yang telah dirumuskan didalam pendidikan budi pekerti sebagai usaha untuk meningkatkan perilaku dalam memperoleh tujuan dari kehidupan yang lebih baik.

Dan sebagai renungan :

***