Seperti yang diungkap "Sad Kertih" dalam sastra agama..., Yajurveda XXV. 17 menyebutkan :
Tan maataa perhivi tat pita dyauh.
Artinya :
Matahari menyinari samudara terus menguap jadi mendung. Melalui dinamika sistem alam mendung itu jadi hujan.
Mantra Yajurveda ini mengingatkan umat manusia untuk menjaga laut sebagai prakerti yang amat mulia.
Prof Dr Emil Salim dalam tulisannya berjudul " Meningkatkan Daya Dukung Lingkungan" menyatakan di negara berpendapatan tinggi berlangsung, ada gejala yaitu : bergesernya pola konsumsi dari pemenuhan kebutuhan (needs) menjadi pemenuhan keinginan (wants) (Emil Salim, 1995. 246).
Tanda-tanda kerusakan muka bumi sudah menjalar luas seperti tampak pada kenyataan-kenyataan di mana ada sepuluh gejala kerusakan muka bumi yang semakin membutuhkan perhatian (Emil Salim, 1995 242). Salah satu dari kerusakan muka bumi ini adalah: Naiknya permukaan laut di seantero bumi akibat naiknya suhu bumi sebagai kelanjutan dari perubahan iklim global.
Oleh karena laut dipakai secara intensif sebagai sarana angkutan maka permukaan laut juga menderita dampak pencemaran dari kapal-kapal yang membuang muatan kotornya (ballast) ke dalam laut. Ada juga usaha industri yang dengan diam-diam membuang limbah kotor ke laut.
Seperti ada usaha Hotel, usaha laundry diam-diam membuang limbah yang sangat kotor kelaut dengan cara sembunyi-sembunyi.
Demikian juga masyarakat membuang sampah ke sungai dan sungai menghanyutkan limbah berupa sampah ke laut.
Karena fungsi samudra dinyatakan sumber alam yang memberi kehidupan pada seluruh makhluk ciptaan Tuhan.
Prakerti atau upaya mulia menjaga kelestarian samudra secara teori tampaknya gampang, tetapi dalam praktik sungguh masih sulit. Kalau samudara tercemar maka banyak sekali akibat negatif yang akan ditimbulkan.
Karena itu untuk menumbuhkan kesadaran masyarakat penganut Hindu perlu diberikan penjelasan tentang makna dari Mantra Yajurveda XXV. 17 agar setiap orang memahami arti dan makna langit sebagai ayah dan bumi sebagai ibu yang ada di alam semesta ini.
Atas kerja sama langit dan bumilah kehidupan ini berlangsung dengan baik.
Maka setiap ada Upacara Melasti ke laut perlu dijelaskan makna Tattwa dari Upacara Melasti tersebut.
Menurut Lontar Sang Hyang Aji Swamandala dan Lontar Sunarigama sbb :
Melasti ngarania ngiring prawatek Dewata anganyut aken laraning jagat, papa Klesa, letuhing Bhuwana ngamet saring amreta ring telenging segara.
Upacara ini untuk mengingatkan masyarakat agar paham bahwa dari tengah Samudara itulah kita mendapat kehidupan sehinggga untuk bisa demikian diingatkan dengan Upacara Melasti agar kita melakukan pemujaan yang sungguh-sungguh pada para Dewata manifestasi Tuhan Yang Maha Esa.
Kesadaran Bhakti dan Sraddha pada Tuhan itu untuk
membangikitkan kesadaran
manusia peduli nasib sesama,
menyucikan diri sendiri dan
peduli pada upaya menjaga
kelestarian alam. Hal itu
dinyatakan dengan dalam
sebuah lontar;
Anganyut aken laraning jagat, papa klesa dan lehing bhuwana.
Artinya;
Untuk menjaga agar alam ini tidak kotor atau letuh maka pertama-tama jagalah Samudra agar senantiasa bersih.