Swadesi

Swadesi adalah sikap kemandirian di berbagai aspek.

Kembali mengenai berswadesi untuk memenuhi kebutuhan bahan upacara atau banten (yadnya), maka tentu kita hendaknya perlu arif dalam memanfaatkan kekayaan alam kita. 

Misalnya, karena jumlah penduduk Hindu terus bertambah banyak yang berarti kebutuhan bahan upacara juga terus membengkak. 

Dengan demikian, supaya alam Bali tetap lestari dan pohon kelapa sempat menumbuhkan daunnya sebelum dipotong untuk bahan banten, maka perlu kiranya pertimbangkan memilih jenis tingkatan upacara supaya bahan banten kita tak cepat habis. 
Bukankah ada tingkatan upacara kanista, madya dan utama? 
Tentu tradisi Bali akan tetap lestari, jika alam Bali, tumbuh-tumbuhan asli Bali sebagai penyokong upacara tetap dipelihara bahkan dikembangkan keberadaannya, tidak hanya dieksploitasi habis-habisan. 
Salah satu contoh, kebutuhan pohon pinang, baik pohonnya, atau bunganya (bangsah) yang digunakan waktu ngaben kini sudah mulai langka. 
Karena itu, 
harus ada upaya membudidayakan tanaman ini meskipun nilai ekonomisnya tidak terlalu tinggi, tetapi tanaman ini juga tak mengambil ruang banyak di tegalan (kebun). 

Biasanya pohon tersebut tumbuh di pinggir pangkung, tukad bahkan di tempat yang tak memungkinkan tanaman budi daya tumbuh di tempat itu.

Dalam usaha pemenuhan kebutuhan bahan upacara, kita seharusnya benar-benar melaksanakan ajaran Tri Hita Karana, tidak cukup berterimakasih kepada alam hanya dengan ritual saja. Dengan membuang sampah secara tertib, tidak mencemari lingkungan dan usaha sejenisnya, menanam pohon, semua itu bukti kecintaan kita dalam mewujudkan hubungan harmonis dengan alam.

Dengan cara ini tanaman ataupun tumbuhan yang kita pakai saat upacara agama tetap bisa tumbuh dengan baik, sehingga mudah didapatkan di alam, tidak kelimpungan ke sana ke mari mencari daun pule atau tiying ampel gading saat ngaben misalnya. 
Sebaliknya, bila kita tidak mau peduli kepada alam serta kita tidak mau menyesuaikan diri dengan tuntutan masa kini, maka bersiaplah menjadi sapi perahan saat upacara digelar. 

Kalau semuanya diserahkan kepada hukum pasar dan kita hanya bertindak selaku konsumen dan tidak belajar sebagai produsen, maka sudah jelaslah kemerosotan ekonomi yang akan didapat.

Karena itu, umat sedharma perlu diajak bersama-sama untuk memanfaatkan lahannya seefektif mungkin, walau luasnya terbatas. Bahkan natah pekarangan saja bisa ditanamai bunga cempaka atau kamboja yang bisa dijual atau bisa mencukupi kebutuhan sendiri. 
Dengan demikian, umat dapat menekan ongkos mahal upacara, akibat bahan mentah yang didatangkan dari luar, karena tentunya akan kena tambahan ongkos angkut, biaya penyusutan, biaya penyimpanan, penambahan biaya di jalur distribusi dan sebagainya.

Apalagi orang Bali mau mengelola sektor informal ini. Menekuni sebagai penjual busung (daun kelapa), pedagang buah, pembuat canang dan aksesoris lainnya. 
Dengan demikian, 
warga Bali yang bekerja di sektor formal akan membeli banten yang merupakan sektor ekonomi informal. 
Ini berarti terjadi keseimbangan antara dua sektor ini. Dan ini pula yang disebut paras-paros sarpanaya, salulung sabhayantaka dalam arti sebenar-benarnya di sektor ekonomi. 
Bertemulah sekala dan niskala dalam harmoni yang indah.

Demikian dikutip dalam artikel Majalah Raditya dalam memenuhi banten secara swadesi dalam kegiatan kehidupan masyarakat Bali.

***