Rasa Asin

Rasa Asin (dalam makna tetandingan banten) sebagai simbol kebijaksanaan agar kita selalu dapat meningkatkan kualitas pengetahuan sebagai pembelajaran diri.
Sebagai salah satu bagian dari Sad Rasa yang berasal dari sari - sari panca maha butha.
Dimana dalam tradisi Bali seperti dalam acara mebat biasanya rasa asin digunakan sebagai bahan penyedap semua jenis makanan, karena tanpa garam semua makanan akan terasa hambar.
Dan karena rasa tidaklah selalu tampak dalam keadaan yang murni,
Tetapi sering tercampur, saling berhubungan, dan bersifat sementara.
Seperti dikisahkan pada zaman dahulu dalam LenteraDharma;
Sebuah percakapan antara seorang ayah dengan seorang anak.
Anak itu bernama Svetaketu, ayahnya bernama Uddalaka.
Sang anak selalu mohon agar ayahnya menerangkan hakekat Tuhan, yang ingin ia ketahui.
Sang ayahpun menerangkannya dengan berbagai contoh yang mudah dimengerti.
Demikianlah Tuhan diumpamakan seperti garam dalam air. Ia tidak tampak, namun bila dicicipi terasa adanya disana. 
Walaupun kehadirannya seolah-olah tidak ada, namun rasanya akan selalu ada. 
Karena Tuhan berada dimana-mana (wyapi wyapaka). Ia mengetahui segala. Tidak ada suatu apapun yang ia tidak ketahui, tidak ada apapun yang dapat disembunyikan kepadanya. 
Ia adalah saksi agung akan segala yang ada, saksi agung segala gerak-gerik manusia.
Karena demikian sifat Tuhan maka orang tidak dapat lari kemanapun untuk menyembunyikan segala karma / perbuatannya. 
Kemanapun berlari akan selalu berjumpa denganNya. Tiada tempat sepi yang luput dari kehadirannya.
***