Sad Angga

Sad Angga adalah enam estetika seni sebagai pegangan untuk dapat dikatakan berhasil, indah dan memiliki makna tertentu.
  • Sad artinya enam, seperti halnya :
  • Angga artinya perincian badan fisik, sebagai simbol keutuhan dan ketuhanan yang memiliki bentuk dan makna secara vertikal.
Seperti halnya yang dikutip dalam pembuatan Sanggah Kemulan (Rong Tiga) estetika Hindu sebagaimana yang dikatakan dalam sastrayonitvat;
Pada dasarnya disebutkan bahwa bangunan tersebut tetap berlandaskan pada konsepsi Bali “tri angga” yang terdiri dari tiga bagian yaitu dasar bangunan, badan bangunan dan atap dari bangunan. 
Perkembangan ini pada hakikinya tidak luput dari pengaruh modernisasai sehingga memunculkan berbagai bentuk keragaman yang sangat unik dari masyarakat Bali.
Walaupun bentuk bangunan dirancang sedemikian rupa guna mengurangi biaya pembuatan ukiran atau ornament yang begitu mahal akan tetapi tidak mengurangi esensi dan nilai bhakti umat kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa dalam manifestasi Tri Murti dan Tri Atma.
Dalam estetika Hindu dikenal rumusan bahwa suatu hasil seni untuk bisa dikatakan indah dan berhasil  harus memenuhi enam (sad) syarat atau perincian (angga), karena itu rumusan itu disebut sad-angga. Keenam syarat pegangan itu adalah sebagai berikut:
  1. Rupabheda, artinya pembedaan bentuk, maksudnya bentuk-bentuk yang digambarkan harus dapat segera dikenali oleh yang melihatnya. Dalam arti bentuk harus segera dikenali karakteristiknya,  yang berbeda antara satu dengan lainnya, seperti; bentuk bunga sebagai bunga, pohon sebagai pohon, orang laki sebagai orang laki, orang perempuan sebagai orang perempuan, dan lain sebagainya; 
  2. Sadrsya, artinya kesamaan dalam penglihatan, maksudnya bentuk-bentuk yang digambarkan harus sesuai dengan ide yang dikandung di dalamnya. Misalnya  sebuah pohon dengan bunga- bunga dan buah-buah  yang dimaksudkan  sebagai lambang kesuburan,  haruslah digambarkan dengan memberikan sugesti yang cukup mengenai kesuburan ini; 
  3. Pramana yaitu sesuai dengan ukuran yang tepat. Sebagai konsekuensi prinsip sadrsya maka tradisi menentukan patokan mengenai ukuran-ukuran dari tokoh-tokoh mitologis yang pada dasarnya adalah perwujudan dari ide-ide tertentu. Ide-ide yang tetap ini harus teguh dengan ukuran-ukuran yang tetap pula, dan di sini proporsi menjadi amat penting. Di samping berhubungan dengan ukuran, prinsip pramana juga menuntut dipakainya pola-pola bentuk yang tepat dalam penggambaran, dalam hal ini menggunakan pola-pola bentuk yang sudah ditetapkan; 
  4. Wanikabangga yaitu penguraian dan pembikinan warna. Syarat ini meliputi pembuatan warna-warna dasar dan penyediaan alat-alat kuas, tempat pencampur warna, dan pemakaian warna secara tepat; 
  5. Bhawa yaitu dapat diartikan sebagai suasana dan sekaligus pancaran rasa. Suasana dan pancaran rasa ini, misalnya suatu suasana sedih, haruslah dinyatakan dengan jelas, sehingga penikmat seni bisa diantar melalui jalur yang tak meragukan ke arah perasaan yang dimaksudkan; dan 
  6. Lawanya berarti keindahan daya pesona, wibawa atau greget. Seni bukan hanya soal teknik atau keterampilan, tetapi ekspresi yang memberikan wibawa transendental. Dengan kehadiran lawanya, suatu hasil seni akan menimbulkan kesan yang dalam pada penikmat, bahkan bisa mempengaruhi batinnya.
Bangunan Kemulan secara umum dihiasi dengan motif-motif seni di Bali. Salah satu keunikan bangunan ini adalah adanya ukiran-ukiran yang berisi hiasan-hiasan dan motif-motif Bali sehingga melahirkan suatu bangunan yang unik nan indah.
  • Motif pada dasanya adalah  dasar warna; latar belakang warna; dasar ragam untuk aransemen lagu; ragam; bentuk; alasan dasar (Partanto, 1994 : 486). 
  • Hias adalah; corak hiasan pada kain, hiasan bagian rumah, bangunan suci dan sebagainya (Susanto, 2002 : 75) 
  • Sedangkan tradisional adalah kebiasaan secara turun-tumurun, tentang pandangan hidup, kepercayaan, kesenian, tarian upacara dsb.
Motif hiasan atau ornamen merupakan karya seni yang bersumber dari bentuk-bentuk yang ada di alam seperti batu-batuan, awan, air, api, tumbuh-tumbuhan, binatang, manusia dan mahluk-mahluk mitologi lainnya. Kehadiran motif hias sebagai hasil kreasi manusia yang dapat menghasilkan suatu bentuk hiasan (ornamen).
Sedangkan pola mengandung pengertian suatu hasil susunan/pengorganisasian dari motif tertentu dalam bentuk dan komposisi tertentu pula. Namun pola dalam konteks tertentu dapat berarti lain, misalnya dalam disain produk, yaitu sebagai prototipe dari suatu barang yang akan diproduksi.
Kebiasaan membuat hiasan yang bernuansa lokal secara turun-tumurun (sudah mentradisi), oleh masyarakat Bali kemudian dikenal dengan motif hias tradisional.
Dalam pengertian  tradisional bumi terbentuk dari lima unsur yang disebut Panca Mahabutha, yakni apah (zat cair), teja (sinar), bayu (angin), akhasa (udara), dan pertiwi (tanah bebatuan/zat padat). Kelima unsur tersebut melatarbelakangi bentuk-bentuk motif hias (ornamen) yang berasal dari alam. 
Estetika, etika dan logika merupakan dasar-dasar pertimbangan dalam mencari, mengolah dan menempatkan motif hias yang mengambil tiga kehidupan di bumi, seperti halnya manusia, binatang (fauna), dan tumbuh-tumbuhan (flora).
***