Wacana

Secara etimologis, wacana berasal dari bahasa Sanskerta. Wacana berarti kata-kata, cara berkata, ucapan, pembicaraan, perintah dan nasihat yang dalam kehidupan bermasyarakat di Bali biasanya disebut dengan Dharma Wacana sebagai sarana untuk dapat memahami pengetahuan secara lebih mendalam tentang nilai-nilai dharma dalam kehidupan ini.
Dan demikian pula halnya dengan Satya Wacana kepada perkataan / tepat janji atas kesepakatan;
Karena pada dasarnya kesetiaan itu muncul bukan dari orang lain, namun kesetiaan timbul dari diri kita sendiri jadi bagaimana cara kita untuk memupuk kesetian itu agar tidak hanya sebatas wacana saja.
Dalam sebuah Disertasi S3 Fakultas Ilmu Budaya, Mitos Badawangnala di Pulau Serangan dikatakan juga bahwa nama lain dari wacana adalah discourse dalam bahasa Inggris dan berasal dari bahasa Latin, discurrere/discursus, yang berarti percakapan, perdebatan aktif. 
Wacana memiliki kemampuan atau prosedur berpikir secara sistematis serta kemampuan atau proses memberikan pertimbangan berdasarkan akal sehat.
Pernyataan yang dirangkai dengan menggunakan satuan bahasa bahasa dan terikat konteks yang memiliki makna, baik lisan mau pun tulisan dan dipublikasikan melalui media, ialah wacana. 
Dalam kehidupan sehari-hari wacana berfungsi menyampaikan berbagai informasi tentang sesuatu, membangun ilmu pengetahuan dan kekuasaan (Vass, 1992:7).
Merujuk pada Van Dijk yang menyatakan bahwa melalui wacana penutur dapat menyalahgunakan kekuatan sosial, kekuasaan dan ketidaksamaan membuat peraturan, menurunkan atau mereproduksi, dan melakukan perlawanan melalui teks dan lisan dalam kehidupan sosial dan konteks politik (Schiffrin. 2001: 356). 
Menurut Foucault (1984), wacana merupakan sekumpulan teks yang dapat memproduksi bentuk baru (gagasan) dari ide, opini, konsep, dan pandangan hidup dalam konteks tertentu sehingga memengaruhi cara berpikir dan bertindak, dapat membentuk kepercayaan, konsep, dan ide-ide yang dianut dari perspektif yang dipercaya dan dipandang benar dalam batas-batas yang telah ditentukan. Wacana juga dapat memproduksi pengetahuan berlandaskan kekuasaan sehingga menghasilkan kebenaran yang menimbulkan efek kuasa. 

Pembenaran ini disebarkan lewat wacana melalui kekuasaan dengan cara positif dan produktif sehingga memproduksi bentuk-bentuk perilaku yang memengaruhi pola pikir seseorang untuk melakukan sesuatu atau mempengaruhi pola pikir. Selain kekuasaan, wacana dalam hubungan dengan simbol merupakan perwujudan dari kreativitas pola pikir dan produktif membentuk budaya melalui bahasa, moralitas, hukum yang menghasilkan perilaku, nilai-nilai, dan ideologi.
Demikian pula, menurut Eriyadi (2010: 15), wacana membentuk dan mengonstruksi peristiwa tertentu atau gabungan dari beberapa peristiwa dalam narasi yang dapat dikenali oleh kebudayaan tertentu. Pemaparan wacana dapat melalui narasi, yaitu jenis wacana yang menceritakan peristiwa secara sistematis berdasarkan urutan kejadiannya. 
Dengan demikian, wacana tidak bermaksud untuk memengaruhi seseorang, melainkan menceritakan kejadian yang telah dipahami, dialami dan didengar oleh pengarang. Seperti yang diungkapkan oleh Eriyanto (2013: 45), narasi menceritakan suatu pristiwa lewat plot (alur) dan peristiwa yang disampaikan secara kronologis dengan tujuan menarik perhatian pendengar. 
Peristiwa disusun dengan berpedoman pada tahapan, mulai tahapan perkenalan, konflik, dan berakhir dengan penyelesaian. Pandangan Eriyanto berkiblat pada Torodov, yang menyatakan bahwa dalam narasi terdapat urutan kronologis, motif, dan plot, serta memiliki hubungan sebab akibat dari peristiwa. 
Wacana naratif merupakan rangkaian pernyataan yang diungkapkan secara lisan ataupun tulisan yang menceritakan peristiwa.

Rangkaian peristiwa dan urutan peristiwa yang dipilih dan dibuang sehingga memunculkan kelebihan yang terkandung dalam penceritaan tersebut. 

Kelebihan tersebut adalah: 
a) membantu dalam memahami makna dan nilai produksi bagi masyarakat;
b) membantu kekuatan nilai sosial yang dominan dalam masyarakat;
c) mengungkap hal-hal yang tersembunyi; dan
d) merefleksikan kontinuitas komunikasi (Eriyanto, 2013: 8). 
Pernyataan ini memiliki hubungan makna dalam satuan bahasa dan terikat konteks, seperti halnya mitos Badwangnala yang pada awalnya bersumber dari teks tertulis dalam Adiparwa I, yang dalam perjalanan dan perkembangan teks mengubah pola pikir dan perilaku masyarakat Serangan yang dikenal sebagai pulau penyu. 
Kemudian, di Serangan, mitos Badawangnala tertuang dalam cerita Watugunung. Berdasarkan konsep wacana tersebut mitos Badawangnala dipandang sebagai wacana naratif.
***