Kehidupan sosial dan religi Bali Kuno

Dalam menunjang kehidupan rakyatnya, segala kekayaan berupa laut, sungai, mata air, danau dan hutan dikuasai oleh Raja. Kelompok penduduk Bali Kuno yang ingin memanfaatkannya untuk menunjang kehidupan harus meminta ijin melalui Senapati setempat.

Setelah mempertimbangkan dengan seksama, Senapati meneruskan permohonan itu kepada Raja. Ijin yang diberikan kepada kelompok (bukan perorangan/pribadi) ditulis dalam prasasti dari bahan tembaga, lontar, atau batu. Pemberian ijin itu disertai dengan kewajiban berupa pajak dan kewajiban menjaga kelestarian alam. Ijin yang telah diberikan tidak boleh dipindah tangankan kepada orang/kelompok lain tanpa persetujuan Raja.

Senapati wajib menuntun rakyatnya untuk menyembah Bhatara-Bhatari yang disakralkan seperti : Bhatara Da Tonta di Turunan (Trunyan), Bhatari Mandul di Bukit Panulisan, Bhatari lumah ri : Air Madatu, Buruan, Banyu Wka, Camara, Jalu, Dharma Hanar, Banyu Palasa, Buah Rangga, Candri Manik, Candri Linggabhawana, Dewastana, Air Talaga, dan Senamukha.
  • Bhatara Da Tonta, manifestasi Sanghyang Widhi yang dipuja untuk memohon kemakmuran dan kesejahteraan, 
  • Bhatari lumah ri, Roh-Roh leluhur dari Udayana dan Raja-Raja berikutnya dari dinasti Warmadewa.

Bhiksu-Bhiksu Budha banyak mendirikan wihara di tepi-tepi sungai seperti : Patanu, Pakerisan, Uwos, Kungkang, di pegunungan seperti : Gunung Kawi, Goa Patinggi, Gunung Agung, Bukit Petung, Cintamani, Songan, Watukaru, di danau-danau seperti : Batur, dan Tamblingan, di tepi pantai seperti : Julah, dan Dharmakuta.