Eling

Eling adalah ingat dan sadar dalam Bahasa Balinya;
  • Sebagai isyarat agar kemanapun kita pergi hendaknya selalu memohon perlindunganNya;
  • Dan bisa dipastikan kalau seorang pendamba kebenaran sejati adalah seseorang yang sudah insyaf dan mereka yang sudah éling.
"Eling" sebagai sebuah kata yang unik, ketika mendapatkan awalan Ng menjadi kata Ngeling yang berarti mengalirnya tetesan air mata.
Tetapi jika mendapatkan awalan Pe menjadi Pangeling-ngeling yang berarti pemberkahan.
Maka dari itu, hendaknya manusia sebagai ciptaanNya disebutkan senantiasa eling dengan sujud dan bhakti kepadaNya dengan tujuan untuk dapat menyampaikan penghormatan, pemberitahuan, perasaan hati dan pikiran.
Dan selalu memohon perlindunganNya seperti yang telah diisyaratkan dalam ngaturang piuning sebelum melaksanakan sesuatu & dalam penggunaan sebuah simbol patra kakul sebagai motif hias.
Dalam Lontar Loka Kreti dikatakan bahwa :
Kunang ikang sawa yan tan inupakara atmanya menadi neraka, munggwing tegal penangsaran, mengebewki, wadhuri ragas, ketiksnan panesing surya. Menangis angisek – isek, sumambe anak putunya, sang kari maurip.
Lingnya:” duh anaku bapa, tan ana mantra wlas ta ring kawitanta, maweh kita juga juga mawisesa, angen den abebecik – becik , tan eling ring rama rna, kawittanta, weh tirta pangentas jah tasmat kita setananku, wastu kita amanggih alphayusa, mangkan temahning atma papa ring sentana” (Lontar Tatwa Loka kreti Lemb. 11).
Yang artinya:
“Adapun sawa yang tidak diaben atmanya akan berada di neraka, pada tegal/tanah yang panas, yang penuh dengan pohon maduri reges, terbakar oleh sengatan matahari, menangis tersedu – sedu, memanggil keturunanya anak cucunya yang masih hidup dengan berkata sebagai berikut:
:Oh Anak-anak keturunanku, tidak sedikitpun rasa belas kasihmu kepada leleuhurmu, memberikan bubur dan air seteguk, saya dulu punya (harta warisan) tidak ada yang saya bawa, kamu juga yang menikmati, pakai baik-baik, namun jika tidak ingat pada orang tua (leluhurmu), air tirta pengentas, pemastuku, semoga kau umur pendek demikianlah kutukannya kepada keturunannya”.
Dan selalu eling (ingat) akan tugas, kewajiban kehadapan Sang Pencipta Alam Semesta dengan segala isinya, termasuk membina hubungan yang harmonis antara manusia dengan Tuhan Yang Maha Esa Ida Sang Hyang Pencipta, hubungan yang harmonis antara manusia dengan manusia dan antara manusia dengan alam lingkungan, yang terbalut dalam ”Tri Hita Karana”, yaitu Parhyangan/tempat suci, Pawongan dan Palemahan seperti dikutip dalam rangkaian upacara Ngenteg Linggih yang dihadiri Bupati Badung ketika serahkan bantuan Pura Desa Adat Kerobokan dimana dikatakan upacara ini juga bermakna;
Membangun kesadaran kolektif bagi umat sedharma untuk mengingatkan kembali akan tanggung jawab hidup akan adanya Buana Agung (makrokosmos) yang telah tercipta ini sebagai tempat kehidupan bagi umat manusia dan makhluk hidup lainnya.
Hal ini memberikan pesan agar jagat raya (alam semesta) yang terdiri dari unsur Panca Maha Bhuta untuk tetap dipelihara, dilestarikan dan tidak dirusak baik secara langsung maupun tidak langsung.
Sehingga seluruh kehidupan ini menjadi aman, damai, harmoni, sejahtera lahir dan bathin (sekala dan niskala).
***