Kisah Mangku Kocong Sebagai Pemangku Baru

SEBAGAI PEMANGKU BARU, Nang Kocong menyadari dirinya sarat beban. Tapi bagaimana pun dirinya telah resmi menjadi panglima dari upacara-upacara di Pura sekaligus menjadi simbul seorang bakta, damuh Ida Bhatara yang bakti. Atas sokongan dan motivasi dari seluruh warga mulailah ia belajar sesana kepemangkuan.
Berhubung ia masih bertanggungjawab sebagai kepala rumah tangga dengan segala urusannya, jelas mangku Kocong tidak banyak punya waktu untuk konsentrasi belajar. Siang hari sejumlah jadwal berderet, mulai ke sawah, memelihara ternak, sekali-kali bekerja sebagai buruh bangunan harus ia lakukan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Jadi ia tidak belajar secara formal kepada seorang Nabe Pandita, melainkan bertanya kesana kemari kepada para pemangku yang lebih senior.
Namanya juga orang awam, apa yang harus ditanyakan dan tema apa yang lebih penting untuk dipelajari terlebih dahulu ia juga tidak paham. Belajar dari melihat kebiasaan pemangku sehari-hari, maka Mangku Kocong pun mulai belajar tentang urutan-urutan ngaturang banten piodalan beserta mantranya. Wajar juga hal itu dijadikannya menu utama belajar, sebab dalam piodalan enam bulan mendatang warga berharap Mangku Kocong sudah bisa mandiri memimpin upacara ritual, bakan lagi didampingi rohaniawan lain.
“Sebagai pemangku kita hendaknya bersih dan suci lahir batin”, ungkap seorang pemangku senior, tempat Mangku Kocong bertanya. 
“Bagaimana caranya ?”, Tanya Mangku Kocong.

“Pertama Mangku Kocong harus memiliki kebiasaan bersih di badan, termasuk pakaian yang bersih, juga rambut dipelihara dan dirawat. Setelah itu, mulailah berdisiplin sembahyang (mebakti) secara teratur supaya pikiran terjaga kesuciannya. Kata-kata dan juga perbuatan juga dijaga supaya tidak ngelantur”, saran Mangku yang lebih senior.

“Pang kuda tiang patutne mebakti, apa sebilang purnama-tilem?” Tanya Mangku Kocong sedikit rewel.

“Ooo…tidak, semakin sering mebakti semakin baik asal Mangku Kocong tidak lupa mengerjakan kewajiban sehari-hari. Mebakti artinya eling kepada Ida Sanghyang Widhi, jadi semakin sering sembahyang tambah semakin ingat khan bagus”, imbuhnya.

Mangku Kocong manggut-manggut, tak jelas apa mengerti atau bingung. Buru-buru ia bertanya tata cara ngilenang banten pengodalan. 

Seniornya menjelaskan panjang lebar dan untuk mantra dan sebagainya Mangku Kocong dipinjami sebuah buku mantra panca sembah dan mantra pengodalan.

Hari-hari berikutnya Mangku Kocong sibuk belajar menghapal mantra. Malam hari belajar memantra, siang sambil nyabit rumput juga komat-kamit menghafal mantra Tri Sandhya dan mantra lainnya. Penat juga ia rasakan kepalanya, tumben-tumbennya otaknya dipaksa kerja ekstra. Untuk menghilangkan stress-nya, lantas sore-sore Mangku Kocong iseng nimbrung di warung kopi sambil meceki menghibur diri.

Sampunapi Jro Mangku suba nyak hafal mantrane ? Tanya warga lain sambil menggenggam kartu cekian mengitari meja. Cengar cengir temannya yang bertanya itu karena tiada lain adalah kawannya yang dulu biasa mengajak pergi metajen.

“De ngejek, sirah tiang hamper puyeng belajar memantra”, jawab Mangku Kocong terkekeh.

“Jangan terlalu diporsir, bertahap dulu. Nanti kalau belum hafal khan bisa bawa cakepan (buku). Lama-lama akan lancar juga, makin sering dipraktekkan kan makin mahir”, sahut yang lainnya. 

Mangku Kocong mangut-mangut. Pemangku senior juga bilang semakin sering semakin baik. Ayam jagonya juga dulu bila semakin sering dilatih duel hasilnya semakin lincah, gesit dan tangguh. Ternyata itu maknanya makin sering jadi baik.

Setelah beberapa bulan berlalu, tibalah hari piodalan di Pura Dalem. Mangku Kocong sudah hadir di Pura, jelas dengan atribut kepemangkuan, udeng maprucut putih dan pakaian serba putih lengkap dengan gandek berisi genta, salinan mantra dan perlengkapan lain. Tampil pertama sebagai pemangku dalam dinas resmi, jelas Mangku Kocong gugup dan kikuk. Namun begitu upacara berjalan tahap demi tahap berjalan lancar, berkat bantuan kaum perempuan yang sudah biasa ngilenang banten sebagai pendamping pemangku sebelumnya. 
Akhirnya sampailah pada acara persembahyangan bersama. Krama Desa masuk ke dalam pura, sehingga jadi penuh sesak. Mangku Kocong yang sedari tadi dengan senang dan lancar menjalankan tugas kepemangkuannya mulai gugup. Maklum banyak pasang mata menonton aksi perdananya, termasuk urusan tetek bengek bagaimana Mangku Kocong memegang dan nguyeng genta diperhatikan seksama oleh warga. Wajah Mangku kocong memerah, tangannya mulai gemetaran dan semua mantra yang dipelajarinya terbang entah kemana, lenyap dari ingatan. Mangku Kocong mulai dengan ngastawa puja. Genta berdenting, matanya terpejam dan hanya mulut komat-kamit. Entah bagaimana ceritanya pada satu penggalan mantra Genta Mangku Kocong lepas dari genggaman dan sungguh aneh, lucu, mustahil dan ajaib. Gentanya terlempar ke depan dan tentu saja mengenai warga yang duduk hening.
Pelipis Wayan Gedeh tertimpa Genta, dan karuan saja semua warga berderai tawa, terpingkal-pingkal. Sekaa kidung wargasari yang dari tadi melantunkan kidung dengan indahnya mendadak buyar sampai ada berbangkis-bangkis menahan tawa. Namun disudut lain beberapa orang berbisik, “lihat tuh Mangku Kocong mulai menampakkan taksu”. Bukankah Wayan Gedeh sebagai Ketua Panitia Pembangunan Pura diisukan korupsi, rupanya ini wangsit Ida Bhatara. Wah luar biasa”, decak kagum beberapa orang.

Sementara dibagian baris depan orang mengembalikan Genta Sakti Mangku Kocong, wajah Mangku Kocong yang sejak tadi memerah kini mulai membiru saking gugupnya. Buru-buru Mangku Kocong mengomando untuk melakukan Puja Tri Sandya bersama. Suasana mulai teredam dari tawa, sehingga Gayatri Mantram mulai dilantunkan dengan khitmat. Bait demi bait mantra Tri Sandya mengalun hening. 
Suara Mangku Kocong begitu keren terdengar di pengeras suara, tidak kalah dengan nada suara Puja Tri Sandya di televise dengan suara ngebas. 
Sayangnya menjelang menginjak mantra bait kelima, Mangku Kocong mendadak lupa. Yang terdengar dipengeras suara adalah Om… Om…. Om…. Dan dengan tiada dinyana Mangku Kocong berucap pada sutra istri : “Luh benahin bantene to nagih ulung uli pelinggihe”.

Sesungguhnya tidak ada banten mau jatuh, itu sekedar akal-akalan saja, sehingga Mangku Kocong melewati mantra bait kelima yang dilupakannya itu dan langsung tancap bait keenam. Om Ksantawyah Kayiko dosa………. Beberapa anak sekolah dan warga yang hafal mantra Tri Sandya jadi buka mata, toleh kanan, toleh kiri kepada temannya lantas tertawa cekikikan dengan tertahan. “Ken-ken ne?” bisik seorang warga. Yang duduk disampingnya juga nyahut berisik, “Kangguang Mangku anyar, harap maklum”.

Selesai melaksanakan puja Tri Sandya Mangku Kocong memimpin persembahyangan kramaning sembah. Syukur kali ini tidak ada insiden. Usai melaksanakan Panca Sembah, Mangku Kocong memerintahkan para Sutri untuk menyiratkan tirta suci anugrah Ida Bhatara. Seperti biasa sebelum disiratkan kepada umat, tirta disiratkan dulu kepada pelinggih (atas) dan ke bawah. 
Seorang Sutri baru, bertanya kepada Mangku Kocong. “Jro Mangku berapa kali tiang harus siratkan ke atas dan kebawah ?” Mangku Kocong terkesiap, karena aturan itu tidak pernah ia tanyakan kepada para senior dan juga tidak menanyakan apa maksudnya menyiratkan tirta ke pelinggih Atas dan ke bawah dengan hitungan tertentu. 
Mangku Kocong pun lama terdiam, kemudian diingat-ingatnya pesan senior tempatnya belajar bahwa semakin banyak sembahyang makin baik asal tidak melupakan kewajiban sehari-hari. Temannya juga pernah menasehatinya dalam belajar mantra, bahwa semakin sering dipraktekkan semakin baik hasilnya.