- penggunaan kertas ulantaga ini hanya digunakan sebagai salah satu sarana penting dalam upacara ngaben
- yang berfungsi untuk menulis rerajahan / kekitir upacara ngaben.
Keunikan kertas yang berasal dari bahan baku kulit tanaman yang di Bali dikenal sebagai pohon ulantaga dalam kutipan beberapa lontar sebagaimana yang dijelaskan dari seorang peneliti Prof. Isamu Sakamoto dalam artikel Cyber Tokoh, "Di Bali Langka Kertas Ulantaga untuk Ngaben", bahan dari kertas ulantaga ini dijelaskan sebagai berikut :
- Dalam Lontar Arjuna Wiwaha, kertas ulantaga ini terbuat dari kulit kayu dan digunakan saat ngaben.
- Dipakai untuk membungkus sawa agar tidak dibawa sang Butagila (Lontar Pujastawa Wedana).
Kertas ini tak hanya untuk menulis
rerajahan upacara ngaben.
Kaum pendeta sebagai sulinggih masa dulu pun menjadikannya kain, ketu, selendang, dan ikat pinggang saat upacara keagamaan yang peninggalannya masih membekas hingga sekarang.
“Hasil kerajinan berbahan
baku ulantaga untuk yang pernah dipakai pedanda untuk upacara,
termasuk kertas ulantaga sebagai media lukisan, kini juga tersimpan di
Museum Neka, Museum Arma, dan Museum Gunarsa dll.
Kertas Ulantaga ini juga disebut dengan kertas daluang yang dalam kutipan catatan peponia, daluang juga disebut merupakan kertas tradisional nusantara yang terbuat dari bahan lembaran kulit kayu pohon paper mulberry (Broussonetia papyryfera Vent) atau dalam Basa Sunda disebut pohon saeh.
Dikatakan lebih lanjut,
Kertas Ulantaga ini juga disebut dengan kertas daluang yang dalam kutipan catatan peponia, daluang juga disebut merupakan kertas tradisional nusantara yang terbuat dari bahan lembaran kulit kayu pohon paper mulberry (Broussonetia papyryfera Vent) atau dalam Basa Sunda disebut pohon saeh.
Dikatakan lebih lanjut,
Pemanfaatan daluang cukup beragam di nusantara. Menurut ahli filologi Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) dan peneliti daluang, Tedi Permadi, pada masa lampau daluang digunakan untuk berbagai keperluan praktis sehari-hari.
Bagi umat Hindu, daluang adalah kertas suci yang digunakan sebagai ketitir dalam pelebon atau ngaben, sebagai kethu (mahkota penutup kepala untuk upacara keagamaan), tika (kalender hindu Bali) dan lainnya.
Di Pulau Jawa, daluang biasa digunakan untuk menulis naskah sejak zaman pra-Islam.Pada zaman kuno tulisan dan prasasti umumnya dilakukan pada tablet bambu atau potongan sutra yang disebut chih.
Tapi karena harga sutra yang mahal dan beratnya bambu, membuat kedua media tersebut tidak nyaman untuk digunakan.Dan dalam sejarah selanjutnya,dalam kutipan blog penemu, Tshai Lun [Cai Lun] berkebangsaan Tionghoa yang hidup di zaman Dinasti Han, abad ke-1 s/d abad ke-2 Masehi juga mendapatkan ide membuat kertas dari kulit pohon kayu murbei ini, sisa-sisa rami, kain kain, dan jaring ikan.
Saat ini, kertas telah digunakan di mana-mana dan dikenal dengan 'kertas dari Marquis Tshai'.
Cai Lun membuat kertas dari kulit kayu murbei.
Bagian dalamnya direndam di air dan dipukul-pukul sehingga seratnya lepas. Bersama dengan kulit, direndam juga bahan rami, kain bekas, dan jala ikan.
Setelah menjadi bubur, bahan ini ditekan hingga tipis dan dijemur. Lalu jadilah kertas yang mutunya masih belum sebagus sekarang.
Pada tahun 105 M ia mempersembahkan contoh kertas pada Kaisar Han Hedi. Catatan tentang penemuan kertas ini terdapat dalam penulisan sejarah resmi Dinasti Han.
Demikian beberapa kisah Bali Kuno terkait dengan sejarah penemuan dan penggunaan kertas ulantaga atau yang dikenal sebagai kertas daluang di nusantara ini.
***