Makanya tak heran kelihatan implementasi ritualnya menurut kita aneh yakni dengan menyakiti diri sendiri.
Namun anehnya, orang yang tengah melakukan Tradisi Ngurek seakan tak merasakan kesakitan.
Sebagai tradisi yang sangat erat kaitannya dengan keagamaan dan dilaksanakan di sebagian besar wilayah adat Bali ini dalam wawasan ritual yang sangat sakral ngurek atau ngunying, hal ini disebutkan disebabkan oleh :
Adanya “bantuan gaib” dalam prosesnya kerasukan oleh roh lain selain hakikat jiwanya sendiri.
Ngurek seperti dengan Debus di Banten yang juga lebih mengandalkan pada ketahanan dan kekebalan tubuh pelakunya. Namun biasanya pantangannya tak boleh ujub atau sombong.
Tradisi Ngurek tidak tahu kapan mulai dilakukan;
Diceritakan konon ini terjadi pada jaman kejayaan kerajaan.
Saat itu sang raja ingin membuat pesta yang tujuannya untuk menunjukkan rasa syukur kepada Sang Pencipta dan sekaligus menyenangkan hati para prajuritnya.
Setelah dilakukan sejumlah upacara, kemudian memasuki tahap hiburan, mulai dari tabuh rah, hingga tari-tarian yang menunjukkan kedigdayaan para prajurit, maka dari tradisi ini munculah Tari Ngurek atau Tari Ngunying.
Kenapa ngurek bisa luka oleh Ida Pandita Mpu Jaya Prema Ananda diceritakan bahwa :
Saya kira ini sangat riskan dan bisa mengundang celaka, apalagi motifnya untuk memamerkan kekebalan tubuh.
Kecuali itu lelucon dengan keris dari kulit, bukan logam. Seorang dasaran tidak akan melakukan hal itu.
Keris tak boleh jatuh ke tanah.
Kalau keris itu jatuh ke tanah, apalagi sampai ujungnya menancap di tanah, keris itu harus disucikan lagi oleh pemangku setempat.
Keris yang jatuh ke tanah tanpa disucikan bisa membuat celaka, pe-ngurek bisa luka. Apalagi untuk metebekan (artinya seseorang menusuk orang lain, misalnya, renying menusuk rangda) bisa berakibat fatal.
Kalau ada kejadian fatal begini, orang terluka karena ngurek atau penari rangda bisa berdarah ditusuk keris renying, siapa yang salah? Ya, tentu para pendamping yang kerauhan itu.
***