Dalam lontar Kramapura disebutkan sebagai berikut.
Malih yan hana jadma tedun katinganan mangaku-ngaku dewa pangakune wenang ya pintonin antuk bau kaun bulu, sapangkoning tangan kalih akinangan Suenya nanging maduluran banten, ring ajeng pura punika, yan tan tumamah genineriya, tuku dewa malingga riya, yening tumamah gemine tiga tan tuku dewa malingga riya, ika ta wenang tiniban danda mwang panyapuh kahyangan ika ngaran (Lontar Kramapura : 2)
Terjemahannya
Lagi bila ada orang yang kesurupan mengaku-ngaku dewa yang turun, hendaknya diuji dengan api botok kelapa, celupkan kedua tangannya, lamanya sama dengan orang makan sirih, namun disertai sesajen di depan pura itu,
Bila ia tidak terbakar oleh api, memang benar dewa yang bersemayam pada dirinya, bila ia terbakar oleh api, tidak benar dengan yang bersemayam pada dirinya, itu patut dikenakan denda dan menyucikan Kahyangan,Secara inplisit pernyataan dalam lontar Krama pura di atas mengandung ajaran tatwa tentang hakikat Tuhan yang tak terbakar oleh api, sehingga apabila orang kerasukan dewa (prabawa Tuhan)
Orang yang kesurupan pun akan tak terbakarkan oleh api, karena ia dilindungi oleh energi Tuhan.
Demikian pula dinyatakan dalam kitab Bhagawadgita sebagai berikut.
Hainam chindanti sastr a ni Nai nam dahati pawakah Nacai, nam kcedayanti a po Na sesayatu m a rutah (Bhagawadgita II.23)
Terjemahan
Senjata tidak dapat melukainya dan api tidak dapat membakarnya angin tidak dapat mengeringkanya dan air tidak dapat membasahinya (Pudja, 1984 : 42)
Pernyataan tentang sifat-sifat Tuhan tersebut ditegaskan kembali dalam sloka Bhagawadgita sebagai berikut.
Acchedyo’yam adahyo” yam Akledyo, sosya ewa ca Nityah sarwagatah sthanur Acalo ‘ yam sanatanah (Bhagawadgita, II, 24)
Terjemahan
Sesungguhnya ia tidak dapat dilukai, dibakar dan juga tidak dapat dikeringkan dan dibasahi ia kekal tiada berubah, tidak bergerak, dia abadi adanya.
***