Lontar Tutur Parakriya

Lontar Tutur Parakriya | Menguraikan tentang kehidupan ini yang tidak kekal, lahir dan tumbuh sebagai kesadaran diri untuk mencapai sorga agar nantinya dapat moksa yaitu manunggal dengan Sanghyang Widhi, Tuhan Yang Maha Esa.

Tutur ini disebutkan dikutip dari percakapan antara Bhatara Iswara kepada Sang Hyang Kumara.
Diawali permintaan dari Bhatari Uma agar Sang Hyang Kumara berkenan menanyakan kepada Bhatara Iswara tentang ajaran yang mengantarkan sesorang menuju moksa
Selanjutnya Sang Hyang Kumara bertanya mengenai asal mula kejadian yang dinyatakan bahwa segala sesuatu yang ada berasal dari Ida Sang Hyang Widhi/ Tuhan Yang Maha Esa yang diistilahkan dengan niskala
Dari keadaan niskala kemudian timbul sesuatu yang berwujud namun tanpa ukuran sehingga disebut matra. 
Dari matra tersebut kemudian menyusul berturut-turut nadha, windu dan ardhacandra yang kemudian menimbulkan pusat keadaan yang disebut dengan wiswa. 
Selanjutnya dari wiswa muncul aksara yang meliputi konsep-konsep Triaksara, Pancabrahma dan Pancaksara
Aksara bersangkutan meliputi suara dan wyanjana (Aksara Suci dalam Kajang) yang merupakan perwujudan dari para dewata. 
Dengan perwujudan dewata seperti itu, 
Maka kepada para pendeta atau para sulinggih dianjurkan agar dalam pemujaan senantiasa dilengkapi dengan sarana kesucian yang terdiri dari bunga, biji, beras, dupa, lampu dan air cendana. 
Penggunaan perlengkapan tersebut sejalan dengan pengertian tentang kesucian wujud Ida Sang Hyang Widhi Wasa/ Tuhan Yang Maha Esa yang dinyatakan dalam berbagai media diantaranya adalah dalam ongkara
Perwujudan Tuhan dalam hubungan lain terdapat dalam hubungan antara dewa dengan arah mata angin.
Dikatakan bahwa sesungguhnya jalan menuju kebebasan abadi yang disebut dengan “marganing anemu kamoksan” adalah pemutaran aksara yang utama sebagai sasaran yoga dalam wujud Ongkara. Yang dapat dijabarkan kedalam Triaksara, selanjutnya kepada Pancaksara dan segala macam aksara keramat. 
Dengan bagian keramatnya pada nadha, windhu, dan ardhacandra sebagai tujuan dari pemusatan pikiran. 
Pemusatan pikiran akan tercapai dengan sempurna melalui tehnik pemejaman mata, karena dengan demikian akan tampak sinar yang sangat suci dan kesunyian. 
Di samping itu disebutkan pula mantra-mantra seperti mantra Pancawara, Sadwara, Saptawara

Hidup ini tidak kekal, lahir dan tumbuh di tanah yang kembali kepada air, kemudian kepada sinar, selanjutnya kepada angin, yang akhirnya kepada angkasa. 
Pernyataan tersebut dilandasi dengan pengertian tentang adanya persatuan antara tubuh dengan dewa sebagai lambang persatuan kosmos, antara lain: Saptaloka, Sapta Patala, Sapta Dwipa (bhumi), Saptaparwata, Sapta Tirtha. 
Selanjutnya dalam rumusan tenaga kehidupan disebutkan: 
  • Pada pangkal jantung berada Dewa Isa yang menimbulkan sifat toleransi, 
  • Pada bagian tengah jantung berada Dewa Dharma yang menimbulka sifat suka bersahabat, 
  • Pada mulut berada Dewa Iswara yang menimbulkan sifat kasih sayang, 
  • Bahan makanan Dewa Brahma yang menimbulkan semangat hidup, 
  • Pada bahan rasa berada Dewa Wisnu yang menimbulkan sifat prilaku, 
  • Pada bahan tenaga berada Dewa Mahadewa yang menimbulkan sifat simpati
Mengenai Panca Maha Bhuta yang dihubungkan dengan tubuh manusia disebutkan: Pertiwi menjadi daging, Apah menjadi darah, Teja menjadi sinar, Bayu menjadi nafas, Akasa menjadi dwara. 

Ada juga rumusan Panca Bayu yaitu Bayu Prana, Bayu Apana, Bayu Udana, Bayu Biana, tentang Sapta Pada, Tri Anta Karana, Tri Loka

Dewanya Tri Guna disebutkan: 
Bagian Bhuana Sangsipta disebutkan bahwa itulah merupakan jalan menuju kelepasan bagi seorang Yogiswara. 
Jika sudah memahami tentang isi dan sifatnya maka setidak-tidaknya tentu akan mencapai sorga. 
Ditegaskan sekali bahwa seorang Yogiswarahendaknya memahami kesadaran diri melalui ajaran falsafah karena ia merupakan jalan untuk mencapai sorga.
***