Dalam buku Sampradaya (Jendra, 2007:17) yang dimaksud sekte, paksa, sampradaya, aguron-guron sebagai suatu sistem perguruan yang telah mentradisi yang menjadi integral dari sistem belajar pengetahuan sejati (spiritual) dalam Weda atau Agama Hindu.
Sedangkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia oleh Tim (2002:1015) dijelaskan kata sekte / agama adalah kelompok orang yang mempunyai kepercayaan akan pandangan agama yang sama, yang berbeda dari pandangan agama yang lazim diterima oleh para penganut agama tersebut, misalnya; sekte siwa, sekte budha, sekte waisnawa, sekte bhairawa, sekte indra, dan lain-lain.
Sekte ini mempunyai jalan dan identitas diri masing-masing, yaitu: ada istadewata (dewa pujaan), ada kitab sucinya, ada orang sucinya (pendeta), ada tempat ibadah, ada hari-hari suci dan sebagainya.
Prasasti yang dikeluarkan oleh raja Bali Kuno selalu tertulis para pendeta yang menyaksikan keluarnya aturan tersebut.
Pada era itu Sekte Siwa pendetanya bergelar dang acharya, Sekte Budha pendetanya bergelar dang upadyaya, Sekte Waisnawa pendetanya bergelar bhujangga, dan sebagainya. Jadi masing-masing sekte mempunyai sebutan pendeta dengan gelar atau identitas tersendiri.
Yang menjadi pertanyaan, dimanakah tempat suci (pura) dari masing-masing sekte itu, karena telah mentradisi, semestinya di Bali saat kini ada Pura Brahma, Pura Wisnu, Pura Siwa, Pura Bhairawa, Pura Indra dan lainnya sesuai keberadaan sekte-sekte yang ada di Bali pada era itu.
Demikian dijelaskan Brahmana Prawara dalam sejarah munculnya brahmana dukuh di Bali.
***