Perbedaan antara Menagih dan Membayar Hutang Karma

Karma selalu ada disana, seperti buah yang tergantung pada cabang pohon. Menunggu kematangannya pada waktu yang tepat, pada kondisi yang tepat.
Dan saat buah itu matang, ia akan jatuh menghantam tanah dibawahnya.
Sekeras apa buah itu menghantam tanah, tergantung berat dari buah itu sendiri. Seberat apa karma yg berbuah, sesakit apa derita yang harus kita rasakan, tergantung dari berat karma yang telah kita lakukan. Tidak lebih, tidak kurang.

Dan sebagai renungan,
Dikisahkan ada seorang tukang kayu yg hidup bersama istrinya di sebuah rumah sederhana di pinggiran hutan. Meskipun sudah lama menikah, namun mereka belum dikaruniai anak.

Si tukang kayu adalah orang yang rutin bermeditasi.
Karena diasah setiap hari, konsentrasinya menjadi sangat kuat dan lama kelamaan indra pendengarannya pun semakin tajam. Kadang-kadang dia bisa mendengar suara-suara makhluk halus disekitarnya.

Suatu hari, seperti biasa si tukang kayu pergi ke gudang mengambil kapak dan setelah itu dia pergi ke hutan mencari kayu bakar.
 
Ketika sedang membelah kayu, tiba-tiba dia mendengar suara 2 anak kecil sedang ber-cakap2.
"Hei, kamu mau kemana?"
"Saya mau ke rumah itu, saya mau menagih karma."
"Oh, saya juga mau kesana, kalo saya sih mau bayar karma."

Si tukang kayu hanya diam sambil melanjutkan pekerjaaannya seolah dia tidak mendengar apa-apa.
Kemudian dia mengumpulkan kayu bakar yang sudah dibelah, mengikatnya menjadi satu dan mengusungnya ke rumah.

Setibanya di rumah, betapa kagetnya dia ketika mendapati seorang tabib tengah memeriksa istrinya.
Ternyata istrinya sedang hamil anak kembar. Si tukang kayu berpikir "Ah... pastilah dua anak kecil tadi yang masuk ke rahim istriku."

Tahun berganti tahun, si kembar pun mulai tumbuh.

Sejak kecil,sudah tampak perbedaan yang mencolok diantara keduanya.
Yang sulung malas dan nakal, yg bungsu rajin dan penurut.
Seiring pertumbuhannya, si sulung terus menerus membuat masalah dan keributan bagi keluarganya.

Banyak perbuatannya yang membuat si tukang kayu terpaksa harus menanggung malu. Tukang kayu pun berpikir "Pasti ini anak yang datang untuk menagih karma, makanya dia sering membuat aku susah dan malu. Baiklah, aku tidak mau anak ini terus menerus menagih karmanya sampai aku tua. Akan aku usir dia dari rumah."
Akhirnya si sulung pun diusir dari rumah.

Sekarang hanya tinggal si bungsu yang rajin dan penurut. Tidak ada lagi yang membuat keributan. Si tukang kayu dapat hidup dengan tentram dan damai, mencurahkan seluruh harapan dan kasih sayangnya kepada si bungsu.

Tahun berlanjut, rasa sayang kepada si bungsu semakin dlm, harapan pun semakin besar. Namun tiba2 si bungsu jatuh sakit,Tukang kayu menghabiskan tabungannya untuk membayar tabib-tabib terbaik, membeli obat-obat terbaik, namun si bungsu belum sembuh juga.
 
Karena tabungannya sudah habis, tukang kayu pun menjual sawah serta ternak peliharaan nya untuk menambah biaya pengobatan.

Tapi, penyakit anaknya ternyata sangat langka, belum pernah ada orang yang terserang penyakit seperti itu, para tabib mulai kebingungan dan akhirnya menyerah.

Tukang kayu tidak kehabisan akal. Dia menjual rumah serta seluruh harta bendanya dan pergi keluar kota untuk mencari tabib lain. Demi kesembuhan anak kesayangannya, apapun akan dia lakukan.

Tapi sampai di luar kota, dia memperoleh jawaban yang sama,Penyakit anaknya sangat langka,Belum ada obat utk penyakit itu.

Tak lama kemudian, di tengah kemelaratan dan keputus-asaan si tukang kayu, anaknya meninggal.
Tak terlukiskan lagi kepedihan dan kekecewaan yang dirasakan si tukang kayu...
Ternyata, inilah anak yang datang untuk menagih karma ...

Tukang kayu sadar dia tidak bisa lari dari karmanya sendiri.

Dulu dia berpikir, si sulunglah yang datang untuk menagih karma karena kenyataannya anak itu seringkali membuat masalah.
Tukang kayu teringat kembali pada anak sulung yang telah diusirnya. Dia merasa sangat menyesal.

Sementara si sulung, setelah diusir dia pergi keluar kota, mencari pekerjaan untuk menghidupi dirinya.

Dia bekerja dengan sangat rajin, sehingga dalam waktu singkat dia menjadi karyawan kepercayaan dan kesayangan majikannya.

Setelah tabungannya cukup, dia berhenti dari pekerjaannya dan pulang ke kampung halaman untuk mencari orang tuanya. Meskipun telah diusir, tapi dia tidak mempunyai rasa dendam di hati,Karena dia adalah anak yang datang untuk membayar karmanya.

Si sulung akhirnya tiba di kampung halamannya.
Dan dengan tabungan yang dia kumpulkan, dia membelikan rumah baru untuk keluarganya. Merekapun hidup dgn damai.

Demikianlah diceritakan, mungkin kita tidak bisa menghapus karma dari perbuatan yang telah kita lakukan, tapi bisa membuatnya menjadi lebih ringan. 

Dengan demikian disebutkan bahwa perbanyaklah berbuat kebajikan. Sekecil apapun kebajikan itu, jika dilakukan dengan hati tulus, akan lebih besar karmanya. Seperti halnya segelas air garam yang sangat asin, jika ditambah dengan air tawar, sampai gelas itu tak mampu lagi menampung dan air mulai berceceran keluar, lama kelamaan air yang asin akan mengalir keluar dan yang tersisa di gelas hanyalah air tawar saja.

Seperti itulah seharusnya yang kita lakukan dalam kehidupan kali ini.
Entah sudah berapa karma buruk yang telah kita lakukan. Dan sekarang, di kehidupan ini, di saat kita berkesempatan bertemu dengan Dhamma, seharusnya kita banyak berbuat kebajikan untuk mengurangi karma-karma buruk kita.

Dan ingatlah, jika ada karma buruk yang terjadi pada Anda, janganlah membalasnya, karena disaat Anda berbuat, disitu karma baru diciptakan.

Relakan saja, dan berpikirlah positif "Ah, karma burukku berkurang satu."

Demikian dikutip dari salah satu artikel Hindu Dharma di fb sebagai sebuah renungan

***