Maharsi Sukra

Maharsi Sukra adalah seorang bagawan yang pada zaman dahulu dikenal memiliki ilmu gaib sanjiwani sebagai kekuatan kesucian sekala dan niskala.

Sebagai resi agung kerajaan, Beliau disegani dunia dengan memiliki nasehat dan motivasi hidup yang penuh makna.

Konon Beliau juga disebutkan memiliki seorang putri jelita benama Dewiyani.

Diceritakan pada suatu sore setelah puas bermain di taman istana, Dewayani dan putri-putri Wrishaparwa, raja para raksasa, pergi mandi ke telaga di tepi hutan yang jernih dan sejuk airnya.

Namun sebelum menceburkan diri ke dalam air yang segar, mereka menanggalkan pakaian dan menyimpan pakaian itu di tepi telaga. 
Tiba-tiba angin puting beliung berembus kencang, menerbangkan pakaian mereka dan membuatnya menjadi satu tumpukan. Setelah mandi dan berpakaian, ternyata terjadi kekeliruan. Tanpa sengaja Sarmishta, putri Wrishaparwa, mengenakan pakaian Dewayani. 

Melihat itu Dewayani berkata, “Alangkah tidak pantasnya putri seorang murid mengenakan pakaian milik putri gurunya.”
Walaupun kata-kata itu diucapkan dengan lembut, Sarmishta merasa disindir dan tersinggung. Ia marah dan dengan angkuh berkata, 
“Tidakkah engkau sadar bahwa ayahmu setiap hari dengan hinanya berlutut menyembah ayahku? 
Bukankah ayahmu menggantungkan hidupnya pada belas kasihan ayahku? Lupakah kau bahwa aku ini anak raja yang dengan murah hati memberikan tumpangan hidup bagimu dan bagi ayahmu? 
Hai, Dewayani, sesungguhnya kau hanya keturunan peminta-minta! Lancang benar kata-katamu kepadaku.”

Memang benar apa yang dikatakan Sarmishta. Sebagai resi atau pandeta, Mahaguru Sukra berkasta brahmana. Sesuai adat pada zaman dahulu, ia hidup dari belas kasihan orang lain. 
Jika memerlukan sarana hidup, seorang brahmana hanya boleh meminta-minta. Meskipun demikian, sesungguhnya bagi kasta brahmana hal itu dianggap perbuatan yang mulia

Dewayani tidak menanggapi kata-kata Sarmishta. Sebaliknya, Sarmishta yang terbakar oleh kata-katanya sendiri, menjadi semakin marah. Tak dapat mengendalikan diri, tangannya terayun, menampar pipi Dewayani. 
Ia bahkan mendorong putri resi itu sampai jatuh ke parit yang dalam. Sarmishta, yang mengira Dewayani sudah mati, segera kembali ke istana. 
Sementara itu, 
Dewayani merasa cemas dan sedih karena tidak bisa keluar dari parit yang dalam itu. 

Kebetulan, Maharaja Yayati, seorang keturunan Bharata, sedang berburu di tepi hutan dan melewati tempat itu. Karena haus, ia mencari air. Dilihatnya ada parit berair jernih di dekat situ. Dia turun dari kudanya, mendekati parit itu, lalu membungkuk hendak mengambil airnya. 
Ketika itulah ia melihat sesuatu yang bercahaya di dasar parit. Yayati memperhatikan dengan lebih saksama dan terkejut melihat seorang putri jelita terpuruk di dalam parit.
Lalu ia bertanya, 
“Siapakah engkau ini, hai putri jelita dengan anting-anting berkilau dan kuku bercat merah indah? Siapakah ayahmu? Keturunan siapakah engkau? Bagaimana engkau bisa jatuh ke dalam parit ini?”
Dewayani menjawab sambil mengulurkan tangan kanannya, “Namaku Dewayani. Aku putri Resi Sukra. Tolonglah aku agar keluar dari dalam parit ini.”

Yayati menyambut tangan yang halus itu lalu menolong Dewayani keluar.

Dewayani tidak ingin kembali ke ibukota kerajaan raksasa. Ia merasa tinggal di sana sudah tidak aman lagi, lebih-lebih jika ia ingat perbuatan Sarmishta. 
Karena itu, ia berkata kepada Yayati, 
“Kau telah memegang tangan kanan seorang putri, berarti engkau harus menikahinya. Aku yakin, dalam segala hal kau pantas menjadi suamiku.” 
Yayati menjawab, 
“Wahai putri jelita, aku seorang kesatria dan engkau seorang brahmana. Bagaimana aku bisa mengawini engkau? 
Apa mungkin putri Resi Sukra yang disegani di seluruh dunia menjadi istri seorang kesatria seperti aku? 
Putri yang agung, kembalilah pulang.” Setelah berkata demikian, Yayati kembali ke ibukota kerajaannya.
Sepeninggal Yayati, Dewayani tetap bertekad untuk tidak pulang ke istana. Ia memilih tinggal di hutan, di bawah sebatang pohon. Sementara itu, Resi Sukra sia-sia menunggu putrinya pulang. 

Beberapa hari berlalu, tetapi Dewayani tak kunjung pulang. Akhirnya Resi Sukra menyuruh seseorang mencari putri kesayangannya.

Utusan itu mencari ke mana-mana. Setelah menempuh perjalanan cukup jauh, akhirnya dia menemukan Dewa- yani yang duduk di bawah sebatang pohon di tepi hutan. 
Putri itu tampak sangat sedih. Matanya merah karena lama menangis. Wajahnya keruh karena marah. 

Utusan itu lalu bertanya, 
Aapa yang telah terjadi?. 
Dewayani menjawab, 
“Kembalilah engkau dan sampaikan kepada ayahku bahwa aku tak sudi lagi menginjakkan kakiku di ibukota kerajaan Wrishaparwa.” 

Setelah mohon pamit, utusan itu kembali ke istana untuk melaporkan hal itu kepada Resi Sukra. 

Mendengar laporan utusannya, Resi Sukra sangat sedih. Ia segera menemui anaknya dan menghiburnya sambil berkata, “Anakku sayang, kebahagiaan dan kesengsaraan seseorang merupakan akibat dari perbuatannya sendiri. 
Kalau kita bijaksana, 
kebajikan atau kejahatan orang lain tidak akan mempengaruhi kita.” Demikianlah Resi Sukra mencoba menghibur anaknya.

Tetapi Dewayani menjawab dengan sedih bercampur dengki, “Ayahku, biarkanlah segala kebaikan dan keburukanku bersama diriku karena semua itu urusanku sendiri. 
Tetapi jawablah pertanyaanku ini. Kata Sarmishta, anak Wrishaparwa, ayahku seorang ‘budak penyanyi’ yang kerjanya hanya menyanjung-nyanjung tuannya. 
Benarkah? Katanya, aku ini anak seorang peminta-minta yang hidup dari belas kasihan orang. Benarkah? Sarmishta sungguh kasar. Tidak puas mengata-ngatai aku, ia menampar dan mendorongku ke dalam parit. Aku bersumpah, aku takkan sudi hidup di wilayah kekuasaan ayahnya.” Dewayani menangis tersedu-sedu.

Dengan tenang dan penuh martabat, Mahaguru Sukra berkata, “Wahai anakku Dewayani, engkau bukan anak ‘budak penyanyi’ raja. 
Ayahmu tidak hidup dengan meminta-minta, mengemis belas kasihan orang. Engkau putri seorang resi yang dihormati dan hidup dimanja di seluruh dunia. 
Batara Indra, raja semua dewa, tahu akan hal ini. Wrishaparwa tidak membutakan mata terhadap hutang budinya kepada ayahmu. 
Tetapi, orang yang bijaksana tidak pernah mengagung-agungkan kebesarannya sendiri.
“Sudahlah, Ayah tidak akan mengatakan apa-apa lagi tentang jasa-jasa Ayah. 
Bangkitlah, 
Wahai mutiara nan kemilau. Kaulah yang paling jelita di antara semua wanita. Engkau akan membawa kebahagiaan bagi keluargamu. Bersabarlah dan marilah kita pulang.” 
Tetapi Dewayani tetap berkeras tidak mau pulang. 

Resi Sukra menasihatinya lagi, 
“Sungguh mulia orang yang dengan sabar menerima caci maki. Orang yang dapat menahan amarah ibarat kusir yang mampu menaklukkan dan mengendalikan kuda liar. Orang yang dapat membuang amarah jauh-jauh seperti ular yang mengelupas kulitnya. Orang yang tidak gentar menerima siksaan akan berhasil mencapai cita-citanya. 

Seperti disebutkan dalam kitab-kitab suci, 
Orang yang tidak pernah marah lebih mulia daripada orang yang taat melakukan upacara sembahyang selama seratus tahun. 
Pelayan, teman, saudara, istri, anak-anak, kebajikan dan kebenaran akan meninggalkan orang yang tak mampu mengendalikan amarahnya. 
Dan orang yang bijaksana tidak akan memasukkan kata-kata anak muda ke dalam hatinya.”

***