Sistem Patriarki

Patriarki merupakan ideologi dominan yang berlaku pada hampir seluruh tatanan masyarakat di pelbagai belahan dunia.
Namun di Bali, biasanya sistem patriarki ini dapat terjadi pada garis leluhur / keturunan laki-laki ataupun wanita seperti dalam pelaksanaan perkawinan.
Misalnya jika terjadi Nyentana, disebabkan karena pihak mempelai laki-laki tinggal di rumah asal mempelai perempuan;
Berarti pihak wanita yang akan menjadi purusha (atau patokan) dan laki-laki akan mengikuti garis keturunan dari pihak keluarga / leluhur dari wanita.
Dalam elegi esok pagi wanita Hindu dikatakan bahwa di beberapa daerah misalnya, Bali dan Batak, budaya patriarki telah bertransformasi menjadi sistem patrilineal, yakni sistem waris berdasarkan garis keturunan. 
Walaupun demikian, dikatakan bahwa budaya patriarki juga berlangsung dalam masyarakat yang menganut sistem matrilineal sekalipun, misalnya Minangkabau.
Otoritas dan otonomi laki-laki dalam pengambilan keputusan pada ruang-ruang publik menjadi ciri utama beroperasinya budaya patriarki dalam berbagai struktur sosial, termasuk keluarga sebagai struktur sosial terkecil. 
Implikasinya, wanita terbuang di panggung belakang, hanya bergulat dengan urusan-urusan privat, dan harus siap menjadi pelengkap. Budaya patriarki cenderung mengkonstruksi fungsi wanita sebatas M3 (baca: tiga M), yaitu macak ‘berdandan’, masak ‘memasak’, dan manak ‘melahirkan’. 
Sementara itu, ruang terbaik bagi wanita hanyalah di dapur, di sumur, dan di kasur. Kalaupun ada wanita yang beraktivitas di luar fungsi dan ruang tersebut, posisinya tidak lebih hanyalah sebagai pendukung dan pelengkap laki-laki.
Gerakan emansipasi wanita berbasis ideologi feminisme dan gender yang semakin marak digelorakan kaum wanita, mungkin berhasil mengubah sebagian pandangan tradisional tersebut. 
Terbukti bahwa semakin banyak wanita yang berani tampil pada ruang-ruang publik, sukses dalam berbagai bidang pekerjaan.
***