Upacara Biu Kukung (Byu kukung; Biyukukung) adalah sebagai wujud rasa syukur karena tanaman telah menunjukkan tanda-tanda tumbuhnya biji yang dinanti-nantikan dan diharapkan sebagai salah satu upacara keagamaan untuk subak yang dilakukan pada saat padi bunting.
Di masa lalu, pada masa bercocok tanam ini biasanya mereka para petani memanfaatkan waktu menunggu akan datangnya musim panen dengan baik seperti dengan membuat gerabah dan barang-barang kerajinan anyam-anyaman.Kepercayaan masyarakat Bali mengenai asal-usul padi dan keberadaan Dewi Sri masih terlihat sampai sekarang sebagaimana yang disebutkan dalam sebuah analisis geguritan Sri Sedana dimana dikatakan bahwa :
Peranan Dewi Sri sebagai Dewi kesuburan dan kemakmuran tercermin dari tetap diadakannya upacara - upacara pemujaan pada akhir musim panas atau pada saat padi sudah mulai menguning yang di Bali dikenal dengan upacara biu kukung.
Hingga kini masyarakat begitu mempercayai tentang keberadaan Dewi Sri yang membawa kesuburan bagi umat manusia.
Pada upacara biukukung, pemuput-nya tak mesti menggunakan pemangku, melainkan cukup pemilik atau penggarap sawah tersebut juga bisa.Di tempat berbeda, Rektor IHDN Denpasar, Prof. I Gusti Ngurah Sudiana sebagaimana dikutip dalam keterangannya di BaliExpress terkait dengan mupu atau gagal panen dijelaskan bahwa upacara Biyu Kukung dilaksanakan ketika padi mulai bunting. "Dalam banten Biyu Kukung identik dengan jajan warna putih dan kuning. "
Tujuan dari Biyu Kukung untuk memohon kepada Bhatari Dewi Sri supaya padi tersebut menjadi jelih lambih.Beliau juga menyebutkan, upacara tersebut merupakan hal yang mulia. Di mana mengharmoniskan pemilik padi, dengan isi alam sebagai tanda syukur.
Jelih yang berarti padat berisi. Sedangkan lambih merupakan panjang dan subur," terang pria asli Karangasem tersebut.
Di samping itu juga permohonan kepada Tuhan. "Agar tumbuh subur, berbuah lebat dan hasilnya berlipat-lipat.
Yang diharapkan dapat melebihi dari bibit yang telah ditanam sebelumnya,' ujarnya.
***