Klangsah (Kelangsah), secara bentuk dan maknanya pada dasarnya sama dengan anyaman kelabang yang terbuat dari daun kelapa tua.
Dalam penggunaan diantaranya seperti pada saat menanam ari-ari, kelangsah & sanggah cucuk (hiasi dg bunga merah) serta baleman & lampu selama 42 hari. Tiap malam lampu dinyalakan.
Secara etimologis, klangsah berasal dari kata kala dan pasah.
Jadi secara semantik dapat kita maknai klangsah ini adalah uparengga yang digunakan sebagai sarana untuk memisahkan kekuatan negatif agar tidak mengganggu kehidupan manusia dalam beryadnya.
Mengingat begitu penting dan luhurnya makna filosofis dalam uparengga tersebut, maka sudah selayaknya umat hindu khususnya yang ada di Bali, mampu membuatnya.
Klangsah/ kelabang ini biasanya digunakan sebagai tembok pembatas / penyengker dalam sebuah areal pelaksanaan yadnya, sebagai atap dalam bangunan adat, tetaring, dan juga biasanya sebagai alas dari tempat meletakkan upakara yadnya.
Hal itu terjadi karena secara filosofis, klabang dipercaya mampu memisahkan unsur-unsur negatif di lingkungan sekitar agar tidak dapat mengganggu kesucian dari sarana persembahan yadnya tersebut.
Pada intinya, masyarakat Bali khususnya yang beragama Hindu sebaiknya bijak dalam memakai dan memanfaatkan sarana upacara dan simbol keagamaannya.
Bentuk dari upakara/ uparengga boleh berbeda, akan tetapi spirit dan pemaknaan dalam membuat upakara dan uparngga tersebut haruslah sama.
***