Tajen

Tajen (mebongbong) adalah adu ayam yang menggunakan taji sehingga biasanya disebut tajen.

Dimana di Bali. 
Pada zaman dahulu keberadaan tajen pada mulanya sebagai penyaluran hobi yang diadakan pada waktu-waktu tertentu saja.
Dan kalah menang sebagai taruhannya bebotoh.
Dalam rentang sejarah Bali dijelaskan, adu ayam tercatat dipraktikan masyarakat Bali sejak abad ke-10 dimana dalam beberapa prasasti disebutkan sebagai berikut :
  • Prasasti Sukawana memuat keterangan ritual keagamaan (yadnya) yg mendasari tajen. 
  • Selanjutnya, dalam Prasasti Batur Abang (1011) terjabar keterangan terkait tajen. 
Menurut Andrik Hendrianto dalam “Perjudian Sabung Ayam di Bali”, tesis pada Universitas Indonesia, adu ayam tak memerlukan izin dari pihak berwenang seperti raja. Namun ritual ini tak boleh dilakukan serampangan.

Kala itu, masyarakat memasang taji (tajen) atau benda tajam di kaki salah satu ayam jantan yg diadu. Untuk ayam lainnya hanya dipasangkan bambu atau kayu di kakinya.
Pertarungan ayam dalam ritual itu disebut perang seta. Tujuannya agar ada ayam yg mati sehingga darahnya membasahi bumi.
Darah itu lalu dicampur dengan tiga macam cairan berwarna: putih (tuak), kuning (arak), dan hitam (berem). 

Percampuran ini sebagai simbol pengingat agar umat manusia menjaga keseimbangan bhuwana alit (manusia) dengan bhuwana agung (semesta). 
Ritual keagamaan ini disebut tabuh rah.
Seorang antropolog, Clifford Geertz mengunjungi Bali awal April 1958 bersama istrinya, Hildred Geertz. 

Sebagai antropolog, mereka bermaksud meneliti budaya dan masyarakat setempat. Pada hari ke-10 kunjungan, mereka pergi ke sudut desa yg tersembunyi. 

Di sana, puluhan orang telah berkumpul. Adu ayam tengah dihelat. Geertz dan istrinya menyaksikan dengan seksama. 
Tiba-tiba seseorang berteriak: “Polisi, polisi!” Orang-orang berlarian. Tak terkecuali Geertz dan istrinya.
Geertz menuangkan pengalamannya dalam karyanya “Deep Play: Notes on the Balinese Cockfighting”, termuat dalam Intrepetation of Cultures. Karya itu mengupas aspek antropologis adu ayam (tajen) di Bali. 
Geertz mengungkapkan, bagi kebanyakan lelaki Bali, tajen menjadi simbol maskulinitas. “Pada arena adu ayam, yg terlihat bertarung memang ayam, tapi ayam-ayam tersebut merupakan perwakilan dari kaum pria di Bali,” tulis Geertz. 

Namun polisi beranggapan lain. Tajen adalah judi. Kriminal. Jauh dari tujuan awalnya.

Demikian dijelaskan dalam kutipan salah satu foto sejarah Bali di Fb, Berangkat Metajen (Adu Ayam) Tahun 1920.
***