Gedong Kirtya

Gedong Kirtya Singaraja Bali adalah merupakan perpustakaan naskah atau lontar-lontar Bali, bercikal bakal dari koleksi buku-buku dan lontar-lontar yang diwariskan Oleh Herman Neubronner van der Tuuk yang dikisahkan sejarahnya dalam wikipedia.

Disebutkan pula, karena jasa - jasa beliau setelah 34 tahun kematian Van der Tuuk, diselenggarakan sebuah pertemuan sangat bersejarah. Tempatnya di Kintamani, kawasan pegunungan Batur, tanggal 2 Juni 1928. L.J.J Caron (residen/perwakilan pemerintah Belanda di Bali dan Lombok) dan para raja serta tokoh agama bertemu untuk berdiskusi mengenai kekayaan kesenian sastra dan lontar-lontar yang tersebar di seluruh Bali.
Rapat itu sepakat untuk membetuk lembaga kebudayaan Bali, dan sepakat untuk mengabadikan nama Van der Tuuk menjadi nama sebuah yayasan/lembaga yang mengurusi seni sastra di Bali; Stichting van der Tuuk.
Sebagai tindak lanjutnya, tidak lama kemudian, tanggal 14 September 1928, kelompok ini secara resmi membuka sebuah perpustakaan pertama di Bali. Perpustakaan itu bernama Kirtya Lefrink-Van der Tuuk; mengurusi lontar-lontar Bali dan Lombok. Nama Liefrink diambil dari seorang asistan resident pemerintah Belanda di Bali yang juga sangat tertarik dengan kebudayaan Bali dan Lombok.
Kata ”kirtya” diusulkan oleh I Gusti Putu Djelantik, Raja Buleleng ketika itu; kirtya berakar kata ”kr”, menjadi ”krtya”, sebuah kata dari bahasa Sanskerta yang mengandung “usaha” atau “jerih payah”.
Hari ini, telah lahir ratusan thesis magister dan desertasi doctoral dari hasil riset terhadap koleksi perpustakaan Kirtya ini. Ribuan karya ilmiah mengalir. Dan yang paling monumental, telah lahir sebuah mega proyek Kamus Jawa Kuna, dikerjakan puluhan tahun oleh Profesor P.J. Zoetmulder (salah satu peneliti terbesar sastra Jawa Kuna yang akrab dipanggil Romo Zoet). Setelah Romo Zoet berpulang, misi ini dilanjutkan oleh Prof. S.O. Robson. Awalnya hanya seri Jawa Kuna-English, kini sudah tersedia terjemahan Jawa Kuna-Indonesia atas jerih payah Romo Dick Hartoko.
Dalam pengantar kamus itu terungkap jasa dari koleksi Van der Tuuk dan Perpustakaan Kirtya dalam penyususan kamus mega proyek yang dikerjakan Romo Zoet dengan kecintaan – jangan pernah membayangkan proyek ini mendapat sponsor pemerintah.
Dalam Kalangwan, ”A Survey of Old Javanese Literature” (Kalangwan, Selayang Pandang Sastra Jawa Kuna), Prof. P.J. Zoetmulder memberi kesaksian terhadap peranan besar Perpustakaan Kirtya: “Terdapat tiga koleksi utama, yaitu Perpustakaan Nasional di Jakarta, dulu dikenal sebagai Batavians Genootschap van Kunsten en Wetenchappen; di perpustakaan Universitas Negeri di Leiden, Negeri Belanda, dan di Perpustakaan Kirtya di Singaraja (dulu perpustakaan Kirtya Liefrinck der Tuuk).

Kalau diperhatikan jumlah naskah yang dimiliki sebuah perpustakaan, maka Leiden-lah menduduki tempat pertama, khususnya karena koleksi lontar dari Lombok dan koleksi dari warisan H.N. Van der Tuuk. Tetapi di lain pihak Kirtya memiliki keanekaragaman yang lebih besar mengenai karya-karya Jawa Kuna, walaupun umumnya hanya satu salinan dari setiap karya.

Pada tahun 1928 didirikan sebuah yayasan (Kirtya) di bawah pemerintah setempat di Bali; dengan terang dijelaskan apa yang menjadi tujuan yayasan itu, yakni: Melacak semua naskah yang ditulis dalam bahasa Jawa Kuno dan Pertengahan, berbahasa Bali dan Sasak, sejauh itu masih terdapat di Bali dan Lombok (kebanyakan dimiliki oleh perorangan) dan untuk membuat kesempatan agar naskah-naskah tersebut dengan lebih mudah dikonsultasi (diakses) oleh para peminat.
Agar tujuan itu dapat dilaksanakan maka raja-raja setempat, para pendeta dan orang-perorangan di daerah itu diminta untuk menyerahkan milik mereka untuk sementara waktu kepada Perpustakaan Kirtya. Di sana sebuah panitia terdiri atas 12 orang memutuskan, naskah-naskah mana dianggap cukup berharga untuk disimpan dalam koleksi itu.
Kemudian lontar-lontar itu disalin dengan seteliti mungkin oleh sebuah kelompok penyalin yang bekerja untuk perpustakaan Kirtya dengan bentuk huruf yang sama dan di atas bahan yang sama (daun lontar), dan kemudian lontar-lontar (pinjaman) itu dikembalikan kepada pemiliknya. Hanya kecillah kemungkinan bahwa naskah penting lolos dari perhatian kita dan tetap tersembunyi dalam salah satu tempat terpencil.

Perpustakaan Lontar Kirtya, atau lebih dikenal dengan nama Gedong Kirtya, yang kini berfungsi sebagai perpustakaan naskah atau lontar-lontar Bali, bercikal bakal dari koleksi buku-buku dan lontar-lontar yang diwariskan Van der Tuuk.