Blabaran

Kata blabaran berasal dari kata blabar ’banjir’, mendapat sufiks –an menjadi blabaran berarti ‘kebanjiran’. 
Konon, sebutan itu digunakan berdasarkan mimpi yang dialami seseorang.
Maksudnya, apabila ada orang yang bermimpi terkena musibah banjir atau kebanjiran, itu merupakan pertanda buruk. 
Sehubungan dengan itu, orang yang bersangkutan harus segera mempersembahkan sesuatu kepada Tuhan atau manifestasi-Nya untuk menangkal mara bahaya yang mungkin akan menimpanya.
Umat Hindu di Bali paling sering merayakan hari- hari suci dengan berbagai rentetan upacaranya. Yang masing- masing ada tujuan dan fungsinya. Salah satunya yaitu pada saat Kajeng Kliwon dimana dalam satyaning dharma disebutkan dirayakan tiap lima belas hari sekali, serta menghaturkan banten blabaran dengan segehan panca warna dalam wujud nasi yang berwarna lima. 

Banten segehan/ blabaran dipersembahkan kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa dalam perbawanya sebagai Panca Maha Bhuta di Bhuana Alit yang disimbulkan dengan nasi panca warna ( putih, hitam, merah, kuning) untuk menetralisir nafsu- nafsu negatif yang sering diistilahkan dengan “ Bhuta Kala” sebagai penyebab ketidakstabilan sehingga perlu secara berkala diruwat dengan persembahan blabaran ini.
***