Paumahan adalah tempat tinggal sebagai hunian bagi keluarga maupun sekelompok orang yang tinggal didalamnya yang sebagaimana juga disebutkan agar dapat mengikuti dan berpedoman pada sebuah tata ruang.
Bertujuan sebagai perekat rasa atau batin untuk menjadi suatu lingkungan yang teratur dan utuh agar dapat dipadukan kelestariannya dalam kehidupan bermasyarakat.
Dalam mengenang 1000 tahun kedatangan Empu Kuturan, refleksi untuk masyarakat adat Bali disebutkan bahwa :
Manusia di dalam kehidupannya membutuhkan suatu tempat tinggal sekelompok manusia yang disebut hunian.
Hunian ini bukanlah merupakan sesuatu hanya dipergunakan melainkan mempunyai fungsi sebagai perekat rasa atau batin untuk memperkat hubungan sosial.
Di dalam pembangunan, bukan saja merupakan kegiatan yang bersifat fisik, namun melibatkan pula hal – hal yang bersifat non fisik, melalui ritual keagamaan.
Jiwa dan rasa penghuninya dikaitkan dengan setiap bangunan yang didirikan.
Tata ruang suatu hunian mengikuti dan berpedoman kepada tataruang. Hunian bukan saja menampung manusia semasa hidupnya, melainkan juga manmpung manusia yang telah meninggal dunia, termasuk yang sudah tidak terwujud yaitu arwah suci para leluhur, yang distanakan di tempat khusus yaitu Sanggah atau Pemrajan sebagai tempat suci dalam pekarangan rumah.
- Oleh sebab itu, antara sekala (alam nyata) dengan niskala (alam gaib) dapat dipadukan kelestariannya dalam kehidupan bermasyarakat, sehingga masalah aktual dan spiritual dapat diwujudkan, disenyawakan, dan diselaraskan seperti apa yang dikonsepkan dalam ajaran “Rwa Binedha”.
- Persenyawaan ini harus diaktifkan malalui ritual.
- Melalui ritual inilah, ruang memperoleh makna dan waktu serta peristiwa sehingga pedoman yang mengatur kegiatan ini adalah suatu lingkungan yang teratur dan utuh,
- Sebab pedoman yang terjadi berdasarkan atas kesepakatan yang diyakini bersama.
Kebutuhan lingkungan akan menjadi kuat apabila mulai dari tataruang, bangunan, alat, pakaian, kelakuan sampai ritual berdasarkan suatu pedoman.
Begitu pula pengendalian sumber daya harus dijadikan upaya untuk menjaga keseimbangan lingkungan, termasuk di dalamnya tentang ketahanan, ketertiban, dan keamanan yang mantap, ampuh, dan terkendali.
Pada konsep tata ruang yang bebudaya dan berwawasan lingkungan positif, yang ditetapkan oleh Mpu Kuturan ke dalam masyarakat Bali, dapat memberikan warna dan corak kehidupan masyarakat di daerah ini. Seperti misalnya :
- Triangga | Konsep yang lebih menekankan kepada tiga nilai badan fisik.
- Trimandala | Optimalisasi fungsi tempat suci sebagai pusat pembinaan dan pengembangan sumber daya manusia secara utuh, menyeluruh dan terintegrasi.
- Hulu teban | penataan sebuah tempat secara vertikal dan horisontal.
- Astabhumi | Menyangkut perhitungan jarak antar pelinggih yang satu dengan yang lain dapat menggunakan ukuran satu “depa”
- Asta Kosala – Kosali | salah satu Lontar Arsitektur Bali sebagai representasi peradaban kehidupan, seni budaya dalam cipta dan rasa.
- Bama / Bhuwana kerthi | terkait upacara yadnya-upacara dalam proses mendirikan bangunan sejak awal hingga selesai.
- Jananpaka | Mengulas tentang klasifikasi kayu yang hendak digunakan untuk rumah maupun bangunan-bangunan suci
- dan lain sebagainya.
Semua ini kemudian menjadi landasan berpijak bagi masyarakat Hindu di Bali dan pedoman di dalam setiap gerak kehidupan bermasyarakat yang dapat memperkuat rasa kebersamaan diantara masing – masing kelompok dan perorangan.
Semua konsep dan ajaran Mpu Kuturan itu akhirnya dijadikan warisan tak ternilai bagi masyarakat Hindu di Bali, walaupun tidak sedikit pemakai konsep dan ajaran ini tidak mengetahui siapa arsitek konsep dan ajaran tersebut.
Disamping itu, berkaitan dengan makna palinggih ring paumahan disebutkan juga agar dilengkapi angkul-angkul sebagai pintu pekarangan rumah, pembatas tembok penyengker, panca kerta maupun pelinggih-pelinggih terkait.
***