Nak Mule Keto

Nak Mule Keto artinya memang dari dulu sudah begitu adanya;

Yang biasanya dikatakan sebagai jawaban dari ketidaktahuan.

Sebenarnya jawaban ini dalam sisi lain dari konsep berpikir disebutkan tidak hanya membingungkan sang penanya;

Tetapi juga dapat membuat apa yang bisa disebut sebagai pembodohan berkelanjutan dari satu generasi ke generasi selanjutnya.

Dan amat disayangkan apabila kalau para generasi tua malas untuk memberikan jawaban/menjelaskan sesuatu maka mereka akan menjawab NAK MULE KETO. 

Jadi bisa kita simpulkan bahwa NAK MULE KETO. merupakan sebuah konklusi tanpa solusi yang jelas (Conclusion without solution).

Seperti dceritakan kulkul Bali berikut ini :

Beberapa waktu lalu nampak jalanan di Bali penuh dengan kendaraan yang “dipoles” dan “dirias” sedemikian rupa dengan ulatan janur.

“Ada Pawai kah?”

Itu pertanyaan yang terkadang keluar dari mulut wisatawan yang sedang berlibur di Bali. 

Bagi orang Bali sih tentunya tidak akan heran karena pada hari itu bertepatan dengan hari Tumpek Landep, namun bagi pelancong tentunya hal tersebut sangat unik. 

Saat ditanya kenapa kendaraan yang “dirias” saat tumpek landep, rata-rata kita hanya bisa menjawab “nak mule keto / memang sepeti itu”. 

Kalimat “nak mule keto” umum digunakan oleh masyarakat Bali untuk menjawab pertanyaan yang biasanya terkait tentang adat. 

Penggunaan kalimat nak mule keto sudah membudaya dan diyakini berasal dari filsafat “Gugon Tuhon” yang sudah ada sejak dulu. 

Bali sebagai sebuah pulau kecil ditengah hingar bingar globalisasi. 

Globalisasi membuat Bali memancarkan aroma kesempatan (opportunity) hingga orang-orang yang terbius dari berbagai sudut bumi datang dan membawa kebiasaan asalnya.

Sehingga budaya “nak mule keto” akan menjadi bumerang untuk orang bali sendiri. “Nak mule keto” , ditengah pusaran arus globalisasi, tidak akan membawa Bali ke tempat yang lebih bagus, malahan membangun masyarakat Bali yang tidak peduli. 

Apabila ketidakpedulian tersebut terus dipupuk, asal usul (origin) suatu adat budaya akan pudar seiring waktu. 

Kelak disaat jawaban “nak mule keto” sudah menjadi sangat kolot dan sangat tidak memuaskan, siapa yang bisa janji Bali tidak akan tenggelam dalam krisis kepercayaan; orang-orang militan akan hilang karena tidak ada lagi orang bijak untuk dipercayai.

Maka dari itu, Pemerintah Bali dan para cendikiawan dari kelompok media yang sadar akan adanya pengikisan budaya, sebuah program cagar budaya yang namanya Ajeg Bali dicetuskan yang berisi harapan agar melindungi Bali dari gempuran budaya luar yang masuk.
***