Misalnya dalam salah satu artikel semeton suka duka semeton Bali disebutak apabila seorang anak ada yang berani menentang orang tuanya, gurunya atau pemimpinnya.
Tentu saja, kalau berani - berani menentang orang tua, kutukanlah yang akan di terima.
- Kalau berani menentang guru, kebencian guru yang akan di tuai, sehingga berbuah kebodohan.
- Kalau menentang pemimpin yang telah disepakati, kita sebenanya telah merendahkan diri sendiri.
Di banyak negara walaupun demokrasi di hormati, tetapi tidak semena - mena dapat menghujat pemimpinnya atau pemerintah, karena pemimpin atau pemerintah adalah presentasi dari negara.
Kalau bukan rakyatnya sendiri yang menghormati dan menghargai pemimpinnya sendiri, lalu siapa lagi....???.
Meminta orang Asing .....???.Beberapa masa yang lalu, pada masa awal reformasi ada unjuk rasa sekelompok masyarakat di negeri ini yang menghujat pemimpinnya dengan sebutan - sebutan yang tidak etis, bahkan mengambarkan bak makhluk lain yang bodoh.
TIDAK.....!!!.
Ini dapat dikatakan "mekecuh arep menek".
Betapa tidak;Kritis terhadap pemimpin tentu saja boleh, tetapi menghina tentu bukan tindakan yang pantas, dan tidak boleh.
Kalau seorang pemimpin saja dianggap demikian, bagaimana pula rakyatnya....???.
Bayangkan seorang pemimpin digambarkan sebagai makhluk lain, semisal sebagai hewan.
Sungguh tidak pantas, sekaligus memilukan.Walaupun kita tidak ingin rezim otoriter lagi, tetapi cara-cara mengkritisi yang kebablasan tentu tidak pantas.
- Bukankah menurut Hindu pemimpin adalah salah satu dari CATUR GURU....???.
- Bukankah kalau pemimpin kita dianggap buruk, kita rakyatnya juga ikut-ikutan kena getahnya...???.
***