Sanggah Turus Lumbung adalah sanggah yang terbuat dari pohon dapdap dan juga di awal pembuatan sanggah, banyak umat yang menggunakan pepohonan ini yang dipercayai sebagai taru sakti.
Namun sejalan dengan pertumbuhan ekonomi maka didirikanlah sanggah permanen. Mengenai batasan waktu penggunaan turus lumbung memang secara mutlak tidak ada ketentuannya. sebab sesuai dengan sifat ajaran agama hindu yang luwes, pengalamannya selalu dikembalikan kepada umat yang bersangkutan, Terutama masalah kemampuan umat untuk membuat sanggah yang permanen atau tidak. Sebagaimana disebutkan, sanggah ini juga merupakan salah satu tempat suci dalam pekarangan rumah.
Perkembangan sanggah turus lumbung ini, dalam Esensi & Konsepsi Pura Sebagai Tempat Suci Di Bali, disebutkan bahwa Bangunan ini dibuat dari ”turus pohon dapdap” sebagai tiangnya dan dibuatkan sebuah ruangan dengan balai-balai yang dibuat dari bambu untuk tempat meletakkan bebantenan. Bangunan suci jenis ini disebut ”turus lumbung”.
Turus lumbung mengandung arti kias “melindungi dan menghidupi pemujanya”. Turus dapdap merupakan tameng atau perisai, yakni alat untuk melindungi diri ; dan lumbung, yakni tempat untuk menyimpan padi untuk penghidupan. Bangunan ini sifatnya sementara yang nantinya akan diganti dengan bangunan yang agak permanen menurut kemampuan penghuninya.
Setelah penghuninya agak mampu, barulah mereka membuat bangunan untuk mengganti turus lumbung itu. Bangunan pelinggih ini dibuat dari kayu dan bambu serta memakai satu ruangan (me-rong tunggal) yang digunakan untuk tempat sajian. Bangunan rong tunggal inilah yang disebut ” kemulan atau sanggah kemulan”. Peninggalan-peninggalan bangunan ini dijumpai di desa-desa Bali Kuno, seperti di Julah, Sembiran, Lateng, Dausa, dan tempat kuno lainnya.
Lama kelamaan oleh karena kebudayaan manusia makin maju, maka dalam perkembangan sejarah bangunan rong tunggal berkembang menjadi dua ruangan (merong dua). Dalam perkembangan selanjutnya bangunan rong dua berkembang menjadi Bali yang beragama Hindu.
Bangunan seperti ini merupakan tempat untuk menghormati atau memuja leluhur-leluhur mereka yang telah disucikan. Selanjutnya, dalam perkembangan kemudian, bangunan yang memakai ruangan tiga (rong telu) disesuaikan dengan konsep Trimurti sebagai sanggah kemulan, sebagai tempat pemujaan leluhur.
Perkembangan sanggah turus lumbung ini, dalam Esensi & Konsepsi Pura Sebagai Tempat Suci Di Bali, disebutkan bahwa Bangunan ini dibuat dari ”turus pohon dapdap” sebagai tiangnya dan dibuatkan sebuah ruangan dengan balai-balai yang dibuat dari bambu untuk tempat meletakkan bebantenan. Bangunan suci jenis ini disebut ”turus lumbung”.
Turus lumbung mengandung arti kias “melindungi dan menghidupi pemujanya”. Turus dapdap merupakan tameng atau perisai, yakni alat untuk melindungi diri ; dan lumbung, yakni tempat untuk menyimpan padi untuk penghidupan. Bangunan ini sifatnya sementara yang nantinya akan diganti dengan bangunan yang agak permanen menurut kemampuan penghuninya.
Setelah penghuninya agak mampu, barulah mereka membuat bangunan untuk mengganti turus lumbung itu. Bangunan pelinggih ini dibuat dari kayu dan bambu serta memakai satu ruangan (me-rong tunggal) yang digunakan untuk tempat sajian. Bangunan rong tunggal inilah yang disebut ” kemulan atau sanggah kemulan”. Peninggalan-peninggalan bangunan ini dijumpai di desa-desa Bali Kuno, seperti di Julah, Sembiran, Lateng, Dausa, dan tempat kuno lainnya.
Lama kelamaan oleh karena kebudayaan manusia makin maju, maka dalam perkembangan sejarah bangunan rong tunggal berkembang menjadi dua ruangan (merong dua). Dalam perkembangan selanjutnya bangunan rong dua berkembang menjadi Bali yang beragama Hindu.
Bangunan seperti ini merupakan tempat untuk menghormati atau memuja leluhur-leluhur mereka yang telah disucikan. Selanjutnya, dalam perkembangan kemudian, bangunan yang memakai ruangan tiga (rong telu) disesuaikan dengan konsep Trimurti sebagai sanggah kemulan, sebagai tempat pemujaan leluhur.
***