Sistem Perekonomian Bali Kuno

Mayoritas penduduk Bali Kuno hidup dari penghasilan sektor agraris : pertanian, peternakan, perikanan, dan mengumpulkan hasil hutan. Sebagian kecil penduduk hidup dari sektor perdagangan sebagai pengepul hasil bumi trutama beras, untuk dijual kepada saudagar-saudagar Cina.

Sebaliknya mereka membeli barang-barang kelontong dan barang-barang kerajinan dari pedagang-pedagang Cina seperti kain, porselain, pecah-belah, dan keperluan rumah tangga lainnya.
Perdagangan di pantai utara Pulau Bali lebih ramai dari pantai selatan, karena kesibukan lalu lintas kapal-kapal dagang lebih banyak di pantai utara. Jalur pelayaran di Nusantara mulai dari semenanjung Malaka menyusuri pantai timur Sumatra, pantai utara Jawa, pantai utara Bali, berbelok ke selatan di Selat Lombok, seterusnya ke Sumbawa, Sulawesi Selatan dan Maluku. Pelabuhan-pelabuhan laut di pantai utara Bali adalah : Teluk Terima, Pemuteran, Buleleng, Sangsit, Kubutambahan, dan Julah. Sedangkan pelabuhan di pantai selatan Bali hanya Sanur.
Jalur perdagangan di daratan pulau Bali bermula dari pelabuhan menuju ke pegunungan. Dari Teluk Terima, jalur darat menuju Desa-Desa : Busungbiu, Munduk, Tamblingan, Candi Kuning, terus ke Tabanan. Dari Pemuteran mengikuti jalur yang sama dengan jalur Teluk Terima. Dari Buleleng, ada jalur ke : Gitgit, Wanagiri, Buyan, Candi Kuning, terus bersatu dengan jalur ke Tabanan. Dari Sangsit, Kubutambahan dan Julah, jalur yang paling ramai menuju Desa-Desa pegunungan bagian timur, akhirnya menuju pusat kerajaan di Cintamani, dan Bedahulu. 
Awalnya perdagangan dilakukan secara barter, yakni tukar-menukar barang (mepurup-purup), karena Raja-Raja tidak menciptakan mata uang bagi negerinya.
Kedatangan saudagar-saudagar Cina yang membawa mata uang Cina serta mengajarkan kepada penduduk Bali Kuna system jual-beli menggunakan uang kartal, menarik perhatian Raja Udayana.
System ini dinilai baik karena praktis, melancarkan perdagangan, dan memudahkan Raja memungut pajak.
Walaupun penduduk telah mengenal dan menggunakan mata uang Cina sebelum pemerintahan Sri Ugrasena, namun Raja Udayana-lah pada tahun 989 Masehi yang secara resmi menetapkan berlakunya mata uang Cina sebagai uang kartal atau alat tukar yang syah. Orang Bali Kuna menyebut mata uang itu : pis bolong sebagai alat tukar yang syah di Bali.

Dalam hubungan antara bisnis dan agama di Bali juga disebutkan :
Bisnis itu sebagai media membuka pasar untuk dapat menyalurkan produk masyarakat. Bisnis yang benar dapat memberikan lapangan kerja kepada banyak pihak. Seperti petani, peternak, pelaut, perajin, penambang.
***