Lelintihan

Lelintihan adalah silsilah asal-usul leluhur yang berisi bhisama atau pesan/petuah/amanat;
yang biasanya sebagai tata hubungan yang tersurat dalam babad dan prasasti kawitan sebagai media untuk dapat menghubungkan diri dengan leluhur yang telah tiada.

Menilik tradisi yang tampak dari beragam silsilah yang ada;
Pada zaman dahulu, ada beberapa klan keluarga yang menempati posisi yang terpandang dikarenakan jasa leluhurnya atau pernah menjadi sentra yang memberikan pelayanan bagi kalangan luas sehingga kemudian skil khusus dan penghormatan melekat pada keturunannya.

Maka dengan demikian semua keturunan berikutnya memakai nama generasi yang paling menonjol sebagai moncol keluarga mereka. 
Inilah sebenarnya pencetus ide dari munculnya Klan/Soroh/Marga di Bali. 
Masing-masing kelompok keluarga ini memiliki babad dan lelintihan (silsilah) tersendiri. 

Bisa dikatakan babad yang kita punya adalah kebanyakan berstatus kebanggaan dari masing-masing keluarga yang dulu memiliki tokoh yang menonjol.

Seperti halnya :
  • Gelar Pasek yang artinya mengajegkan gumi atau penyetabil dunia.
  • Arya sebagai gelar nobel atau bangsawan jaman Majapahit adalah Arya karena makna Arya sendiri yang berasal dari bahasa sanskerta bermakna nobel/terhormat.
  • Gelar Sira yang sebenarnya juga bermakna sama yaitu terhormat bahasa Inggrisnya “Sir”.
    • Misalnya Sirarya Kuthawaringin, dahulu sebagai Amanca Agung merangkap Demung untuk mendampingi Sri Aji Wawurawuh (Sri Kresna Kapakisan).
  • Sebutan “Ki” yang maknanya dimuliakan. 
    • Misal : Ki Gusti Ngurah Panji Sakti sebagai pendiri Kerajaan Buleleng
  • Gelar Nararya yang artinya sama termuliakan. 
    • Misal : Shri Nararya Kresna Kepakisan, semasih di Jawa Timur yang sesungguhnya leluhurnya adalah Wisnu Wangsa di Jawa Timur yaitu dari dinasti Isana
  • Pangeran bila dipakai bahasa Melayu menjadi Pengiran. 
  • Sebutan Ngher maka akan sesuai Jawa Kuno yang artinya pelindung.
Setiap orang memiliki leluhurnya sendiri. Seperti kita menganggap orang tua kita paling hebat orang lainpun tentu demikian. 
Kita hendaknya mengganggap setiap hal setara....

Jangan sampai kita punya leluhur atau orang tua mulia tapi perbuatan kita tidak mulia.... Akhirnya orang tua walau sudah jadi pitara juga disebut-sebut atau kena pisuna
***