Kharisma

Kharisma adalah pancaran kedewataan baik itu berupa keagungan, kewibawan, kecantikan dan kebaikan serta keuletan.
Ibaratnya, 
"Bagaikan bayangan rembulan pada tempayan yang berisi air... bila airnya bersih akan mampu menunjukkan bayangan bulan.. 
Demikian juga halnya bagi orang-orang yang bathinnya bersih suci nirmala.. maka pancaran kedewataan itu pun akan bersinar terang dan terpancar suci bersih".
Dan dengan kewibawaan dan kharismatik yang terpancar tersebut dikatakan dapat dijadikan landasan yang baik sebagai seorang enterprenur, human resources, public relation, dan sejenisnya.

Menurut istilah dalam spiritual,
Kharisma berarti pengolahan diri seseorang, dimana orang tersebut secara terus-menerus mengembangkan kelebihan dirinya sehingga dapat memancar keluar dan bisa membuat orang lain juga merasakannya.
Atau kharisma juga adalah suatu perbuatan nurani ketika seseorang bisa menyeimbangkan dirinya untuk berbuat dengan mementingkan kepentingan umum lain di atas kepentingan diri, bisa memikirkan perasaan orang lain, bisa bekerja dengan kasih sayang tanpa pamrih untuk kesejahteraan orang lain dan sebagainya. 
Maka bisa disimpulkan bahwa kharisma adalah konsekuensi perbuatan positif yang memancar dari diri seseorang.

Sebagaimana hubungan kharisma dengan Estetika Hindu Dalam Butiran Weda dikatakan bahwa :
Ketika seseorang terus-menerus mengembangkan kelebihan dirinya maka kharisma tersebut akan dapat memancar keluar dan bisa membuat orang lain bisa merasakannya dan jika pengembangan diri itu telah berhasil maka pada saat itulah seseorang disebut memiliki taksu atau ketaksuan. 
Dan sejatinya sebuah kharisma dengan taksu memiliki keidentikan, 
Jika kharisma merupakan proses, 
maka taksu adalah hasil dari proses tersebut, dalam kehidupan Hindu di Bali.
Taksu merupakan suatu yang dianggap gaib. Tidak hanya manusia, suatu objek tertentu yang besifat sakral juga bisa dikatakan memiliki Kharisma atau taksu itu sendiri, tetapi suatu objek tersebut tidak melalukan proses pengembangan atau proses pemancaran Kharisma tersebut, melainkan Kharisma itu sudah terpancar dengan sendirinya dan sudah memiliki nilai taksu yang kuat, seperti contohnya adalah sebuah arca-arca di Bali, Pura, dan benda-benda sakral lainnya. 
Di Bali taksu itu bisa diartikan sama dengan sakti atau wisesa. Dan yang dimaksud dengan sakti itu adalah simbul dari bala atau kekuatan. Dalam sisi lain sakti juga disamakan dengan energi atau kala.
Dalam tatwa, daya atau sakti itu tergolong Maya Tatwa. Energi dalam bahasa sanskrit disebut prana, yang adalah bentuk ciptaan pertama dari Brahman. Dengan mempergunakan prana barulah muncul ciptaan berikutnya yaitu panca mahabhuta
Dengan digerakkan oleh prana kemudian terciptalah alam semesta beserta isinya. Tuhan dalam Nirguna Brahma / Paramasiva dalam Siva Tatwa, memanfaatkan energi atau sakti itu, sehingga ia menjadi Maha Kuasa, memiliki Cadu Sakti dengan Asta Aiswarya-Nya.
Dalam keadaan seperti itu Ia adalah Maha Pencipta, Pemelihara dan Pelebur. Dalam Wraspati Tatwa disebut Sadasiva dan dalam pustaka Weda disebut Saguna Brahma
Sakti atau energi maya dari Tuhan itu dipuja dalam bentuk pelinggih yang disebut Pelinggih Taksu
Sedangkan Tuhan dalam wujudnya sebagai Sang Hyang Tri Purusa dan Sang Hyang Tri Atma dipuja dalam pelinggih kamulan
Dalam upacara nyekah, selain sekah sebagai perwujudan atma yang telah disucikan, kita juga mengenal adanya sangge. 
Sangge ini adalah perwujudan atau simbul dari Dewi Mayasih. Beliau mewakili unsur Maya Tatwa (pradana / sakti). Yang juga dalam upacara nyekah bersama-sama Atma ikut disucikan.
Maka timbul pertanyaan apakah Kharisma mempengaruhi Estetika atau sebaliknya ?
Maka jawabanya adalah bahwa sesungguhnya Kharisma atau taksu ini yang merupakan bagian dari Estetika itu sendiri dimana karena adanya sebuah Kharisma atau taksu adalah sebuah kekuatan dari dalam yang bersifat magis yang akan memancarkan kekuatan dan kecerdasan sehingga suatu objek tersebut akan memiliki daya tarik dan dari daya tarik tersebut akan memberikan suatu nilai Estetika atau keindahan tersendiri.
***